Jumat, 22 Januari 2010

Pemikiran Teologis Modernisme Dan Liberalisme

Teologi modernisme dam liberalisme adalah dua saudara kembar sebagai
hasil dari era akal budi dan humanisme. Teologi ini didirikan di atas
keyakinan pada keunggulan rasionalitas, dan mereka bermaksud
menempatkan Allah dengan akal manusia, bahkan lebih jauh lagi menantang
otoritas gereja dan tradisinya dengan rasionalisme.

Dengan mengambil perasan dan pengalaman sebagai satu-satunya
instrumen bagi pengertian manusia, mereka mencoba menolak semua
kebenaran iman yang self evidence dengan komitmen total pada semangat
positivisme. Disamping menyangkali Allah dan eksistensi-Nya, mereka
memberikan/menyumbangkan kritik tinggi dengan sombong sekali bagi
tradisi dan otoritas apapun, khususnya gereja dan imannya. Mereka
meletakkan keyakinannya pada kemampuan manusia dan menolak
kemungkinan dari Allah dan mujizat. Mereka mempercayai otonomi manusia
dan determinisme, menyatakan bahwa Allah dan iman kepada Allah hanyalah
mungkin ketika manusia hidup di masa-masa kebodohan. Sebagai manusia
masa kini, manusia akan membuang kruk-kruk yang digunakan ketika
pemikiran mereka lemah dan timpang. Manusia masa kini tidak memerlukan
kruk-kruk ini, selain memeliharanya dalam museum sebagai bukti kebodohan
dan keprimitivan manusia.

Dari perspektif lain, kita mendapatkan bahwa yang disebut “rasionalisme”
secara ironis kembali pada mistiksisme dan terisi dengan hikmat dari Timur
yang bersifat kekanak-kanakan. Apa yang dapat kita katakan, jika akal
manusia adalah absolut, mungkin akan memilih apapun juga yang dikehendaki
sesuka hati, termasuk tahayul. Ini adalah konsekuensi, ketika akal adalah tuan
dan homo mensura dari Protagoras adalah doktrinnya, maka ironi tersebut
adalah hasilnya.

Faktanya, liberalisme dan modernisme sangat bersahabat dan
menyenangkan. Namun dalam analisis akhir, kita mendapatkan bahwa mereka
telah membuang kepercayaannya kepada Allah Alkitab dan secara aktual
telah mengambil sains dan akal sebagai Allah. Mereka mengambil posisi yang
nampaknya ingin mengatakan bahwa tidak ada Allah dan semua yang lain
dapat diterima. Ini adalah sebuah tindakan melawan Allah dan
kekristenan yang tidak bertanggungjawab dan diskriminatif. Walapun mereka
masih memelihara bentuk-bentuk tertentu tentang kebaktian, bahkan masih
memelihara yang digunakan ‘gereja’ dan ‘kekristenan’ dan masih giat dalam
misi dan mengutus, namun pada dasarnya kepercayaan mereka adalah doktrin:
fatherhood of God dan brotherhood of man. Ketenangan dan hidup bersama
dengan damai adalah motif dasar keagamaan mereka. Agama bagi mereka
hanyalah sebuah pakaian kehidupan moral dalam masyarakat. Hal itu adalah
baik bagi manusia untuk memilikinya, tetapi sebenarnya tidak mutlak.

Konsekuensinya, kelompok ini tidak percaya lagi pewahyuan,
penebusan-pengganti, dan mujizat. Mereka berbicara tentang sejarah sebagai
perkembangan natural dengan menaruh kepercayaan absolut di dalam hakikat
manusia. Mereka juga percaya pada kesempurnaan, kemutlakan,
ketidakterbatasan rasionalitas manusia. Di dalam agama dan filsafat, mereka
mengambil posisi sinkritisme, dengan menyarankan Kristus hanyalah sebuah
simbol, Dia juga eksis di luar kekristenan. Bagi mereka, gereja hanyalah
institusi sosial belaka; yang harus bersifat demokratis bahkan dengan
kepercayaan-kepercayaannya. Biarkan anggota-anggotanya memutuskan apa
yang mereka ingin percayai dengan semangat liberalisme, dan masing-masing
anggota memutuskan pengakuannya sendiri. Sebagai konsekuensinya,
mereka kehilangan doktrin ineransi adan infalibilitas kitab suci. Di dalam
pengertian seperti itu, mereka sudah memusatkan humanisme sebagai fondasi
teologi. Bagi mereka, manusia adalah pusat alam semesta, tuan dan hakim.
STULOS 6/2 (September 2007) 165-180
agung bagi diri mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar