Selasa, 02 November 2010

Pluralisme dan Isu Pluralime

Dalam konteks bangsa Indonesia yang sangat kompleks dan majemuk, cara pandang keagamaan yang toleran, pluralis, dan peaceful sangat diperlukan. Hal itu untuk menjaga kosmos dan bumi pertiwi agar tidak tenggelam dalam jurang pertikaian, kekerasan, dan peperangan.

Webster’s Third International mendefinisikan pluralisme sebagai sikap atau cara pandang dalam merespons fakta pluralitas (diversity).

(1) “a state of society in which members of diverse ethnic, religious, racial, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization;(2) a concept, doctrine, or policy advocating this state” (dikutip dari Hutchison 2004: 4).

Di Amerika Serikat, menurut Hutchison, kata “diversity” berakar sejak paruh pertama abad ke-19, sementara “pluralism” baru muncul pada paruh kedua abad ke-20 sebagai reaksi atas realitas kemajemukan agama-agama.

Profesor Diana Eck dari Harvard Divinity School: Pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity (keberagaman). Diversity adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya. Sementara pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah “masyarakat bersama” (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas atau ke-bhineka-an.

Fenomena “pluralitas agama” bisa dijumpai di mana saja apalagi di kota-kota kosmopolitan. Fenomena di mana orang dari berbagai latar belakang etnis, agama dan budaya bisa berkumpul, bercengkerama, dan makan-minum bersama di sebuah cafe atau restoran. Akan tetapi, tanpa engagement (dialog intensif atau pergumulan terus-menerus) antara satu komunitas dengan lainnya, maka pluralitas itu tidak akan menjadi pluralisme.

Pluralisme bukan pluralitas. Pluralitas (kemajemukan) merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given). Sebaliknya, pluralisme adalah sebuah “prestasi (achievement) bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan common society.

Pluralisme adalah “the energetic engagement with diversity atau sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman atau pluralitas. Pluralisme adalah tafsir atas pluralitas atau evaluasi atas diversitas budaya dan agama sebagaimana “paham” eksklusivisme, multikulturalisme, relativisme dan sebagainya yang juga merupakan interpretasi atas kemajemukan dan juga kemodernan.

Pluralisme adalah proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference). Pluralisme setingkat lebih tinggi dari toleransi. Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme mensyaratkan keduanya: pengetahuan sekaligus pemahaman atas tradisi agama dan budaya komunitas agama lain.

Pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti dari pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.
Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama sebab perbedaan itu adalah natural, intrinsik, dan given (sunatullah) yang tidak bisa dihindari, akan tetapi perbedaan agama itu dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu.

Seorang pluralis akan memandang agama sebagai “unite factor” ketimbang “divide one.” Prasyarat real commiment ini membedakan konsep pluralisme dari relativisme. Dalam relativisme tidak ada sikap komitmen hanya sebatas keterbukaan sementara pluralisme mengsyaratkan keduanya.

Jaminan Konstitusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
UUD 1945 Pasal 28 E
UUD 1945 Pasal 29
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22
UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18

Masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga masalah bagi seluruh anak bangsa. Karena itu, perlu ada perubahan mindset dalam kehidupan keagamaan.

Tidak ada solusi tunggal untuk keluar dari masalah yang begitu kompleks ini. Paling tidak ada 3 hal perlu dilakukan: Rekonstruksi budaya; Review kebijakan/UU; dan Reinterpretasi pemahaman agama.