Jumat, 29 Januari 2010

Pohon Zaitun atau Semak Duri?

Ternyata bukan manusia saja yang membutuhkan figur seorang pemimpin. Sekali peristiwa, demikian tutur Kitab Hakim-hakim 9:8, pohon-pohon pergi mengurapi yang akan menjadi raja atas mereka. Namun, sebagaimana yang dialami manusia, mencari dan menemukan seorang raja bukanlah perkara mudah. Sejumlah kendala menghadang mereka. Pertama, ketika mereka meminta pada pohon zaitun, Jadilah raja atas kami! (Ayat 8), sang pohon zaitun menjawab: Masakan aku meninggalkan minyakku yang dipakai untuk menghormati Allah dan manusia, dan pergi melayang di atas pohon-pohon? (Ayat 9) Permintaan mereka, sayangnya, ditolak mentah-mentah!

Tidak berputus-asa, pohon-pohon itu bergerak mendekati pohon ara. Kata mereka: Marilah, jadilah raja atas kami! (Ayat 10) Namun, kembali penolakan menghentikan langkah mereka. Jawab pohon ara: Masakan aku meninggalkan manisanku dan buah-buahku yang baik, dan pergi melayang di atas pohon-pohon? (Ayat 11) Wah, ditolak lagi!
Masih belum mau menyerah, kali ini pohon-pohon berombongan menghampiri pohon anggur: Marilah, jadilah raja atas kami! (Ayat 12). Dengan berharap-harap cemas mereka menanti jawaban sang pohon anggur: Setelah terdiam sejenak, pohon anggur berkata: Masakan aku meninggalkan air buah anggurku, yang menyukakan hati Allah dan manusia, dan pergi melayang di atas pohon-pohon? (Ayat 13) Ditolak tiga kali, waduh, betapa menyakitkan!

Nyaris putus asa, dengan langkah lesu dan tidak bersemangat, pohon-pohon menyapa semak duri: Marilah, jadilah raja atas kami! (Ayat 14). Tanpa diduga, mereka mendengar semak duri menjawab tegas: Jika kamu sungguh-sungguh mau mengurapi aku menjadi raja atas kamu, datanglah berlindung di bawah naunganku; tetapi jika tidak, biarlah api keluar dari semak duri dan memakan habis pohon-pohon aras yang di gunung Libanon." (Ayat 15)

Kata "semak duri" pertama kali tampil pada Perjanjian Lama dalam peristiwa yang diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI): "manusia jatuh ke dalam dosa". Tepatnya, demikianlah dituturkan Alkitab tentang semak duri: Lalu firman-Nya kepada manusia itu: ... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu....' (Kejadian 3:17-19) Tentunya, tidak sulit bagi kita untuk menemukan bahwa kehadiran "semak duri" di atas terkait dengan hukuman Tuhan bagi Adam yang melanggar larangan-Nya untuk tidak makan buah yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya. (Ayat 17).

Kata "semak duri" juga muncul dalam Kitab Nabi Yesaya 32:13-14: ... ratapilah tanah bangsaku yang ditumbuhi semak duri dan puteri malu .... Sebab purimu sudah ditinggalkan dan keramaian kotamu sudah berubah menjadi kesepian. Bukit dan Menara sudah menjadi tanah rata untuk selama-lamanya, menjadi tempat kegirangan bagi keledai hutan dan tempat makan rumput bagi kawanan binatang." Tidak jauh berbeda, nada kesedihan dan kekalahan terdengar nyata dalam ayat-ayat di atas. "Semak duri", tampaknya, memang akrab dengan nuansa negatif dalam kehidupan orang Israel.

Mencermati gambaran yang muncul tentang semak duri, sudah selayaknya dan sepatutnya kita mempertanyakan keterpilihan dan kesediaan semak duri menjadi raja atas pohon-pohon. Namun, keterpilihan tersebut tampaknya memang tidak terhindarkan, mengingat para pohon yang sesungguhnya lebih dipilih dan -karenanya- dihubungi lebih awal, tegas-tegas menyatakan penolakan. Tentu saja, kesediaan semak duri menjadi raja segera disambut gembira oleh para pohon pemilih (dijamin kita belum melupakan para bijak bestari yang mengatakan "tiada rotan, akar pun jadi"
bukan? Maksudnya, karena tidak ada pohon yang bersedia menjadi pemimpin, semak duri yang bernuansa negatif pun diterima dengan senang hati!Mengikuti kisah "pohon-pohon mencari raja", sebuah pesan bisa kita temukan dari kisah di atas. Pesan ini bukan terutama ditujukan bagi para pohon pemilih, melainkan lebih pada para pohon terpilih (yang sesungguhnya), yaitu: pohon zaitun, pohon ara, dan pohon anggur. Ketidaksediaan dan penolakan mereka untuk menjadi pemimpin membuat para pohon pemilih terpaksa bersedia dan menerima semak duri sebagai raja mereka.

Dalam konteks negeri kita, pemilu legislatif telah berhasil menghadirkan sekian banyak anggota legislatif lama dan baru. Tentu saja (dan mestinya) mereka termasuk dalam kategori "pohon zaitun, pohon ara, juga pohon anggur". Tentunya, pula, sebagai bagian dari para pohon pemilih, kita dengan senang dan lega hati melihat mereka menerima permintaan kita untuk menjadi pemimpin atas kita. Namun, urusan kita jelas belum selesai. Dari para pemimpin terpilih yang termasuk dalam kategori "pohon zaitun, pohon ara, dan pohon anggur" tersebut, kita menantikan kepemimpinan yang mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat negeri. Sebab bukan tidak mungkin rakyat akan berpaling dan mencari "semak duri" jika para "pohon terpilih" kelak sibuk dengan urusan dan kepentingan masing-masing.

Melalui Lukas 12:48, Tuhan mengingatkan para "pohon terpilih": Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut." Tentunya peringatan ini tidak mudah dilupakan para "pohon zaitun, pohon ara, dan pohon anggur", bukan?

Kamis, 28 Januari 2010

Mewarisi Benci

Dendam: luka batin/jiwa yang diturunkan pada anak cicit

Timur Citra Sari, Mobil di depan mendadak berhenti. Sambil mengomel, pengemudi yang membawa saya dan sejumlah teman, segera menginjak rem. Semua obrolan di dalam mobil pun tidak berlanjut. Kami melongokkan kepala ke depan, berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan perjalanan kami tiba-tiba tertunda.
Mendadak, sebutir batu sebesar kepalan tangan orang dewasa terlihat melintas cepat dan mendarat di atap mobil. "Duk!" Bunyi kerasnya mengejutkan kami semua. Dan, dengan segera kami tahu apa yang menjadi penyebab mobil di depan kami tadi mendadak berhenti. Ada tawuran!

Beberapa pelajar berlari-lari melewati mobil kami. Tangan mereka terlihat menggenggam batu, ikat pinggang, kayu, dan entah apa lagi. Dalam rasa ngeri karena terjebak tawuran pelajar, mobil kami dan mobil-mobil lainnya berusaha berbalik arah sesegera mungkin. Klakson mobil pun terdengar riuh bersahut-sahutan. Dari jauh terdengar suara sirene mobil polisi. Waduh!
*
Tawuran pelajar bukan satu-satunya jenis tawuran yang kita kenal. Kakak-kakak mahasiswa telah menunjukkan bagaimana sebuah tawuran mahasiswa berlangsung baik antarfakultas dalam satu universitas, atau juga antar universitas kepada kita. Tidak ketinggalan, para bapak (dan ibu?) memperkenalkan tawuran antarkampung atau antarkompleks yang tidak kalah seru dibandingkan dengan tawuran anak-anak mereka.
Jika kita mengikuti berbagai pemberitaan analisis mengenai tawuran-tawuran tersebut, kita kerap dibuat tercengang saat mendengar betapa pemicu tawuran bisa jadi teramat sepele dan remeh. Misalnya saja, seorang pelajar dianggap melotot kepada pelajar lainnya. Maka, tawuran pun dimulai. Atau, seorang mahasiswi ditaksir dua mahasiswa dari dua fakultas yang berbeda. Maka, kejadian ini dianggap cukup untuk meletuskan sebuah tawuran. Atau lagi, beberapa penghuni kampung terlihat membuang sampah di kampung lainnya. Maka, bendera tawuran segera dikibarkan. Astaga!
Namun, tunggu dulu. Jika ditelusuri lebih lanjut, biasanya kita akan menemukan betapa bibit-bibit kebencian antarpelajar, antarmahasiswa, atau antarwarga kampung yang gemar bertawuran seperti di atas ternyata telah ditabur sejak lama.
Pemicunya bisa jadi sebuah peristiwa yang up to date, namun niat dan semangat untuk bertawuran sudah dan terus diwariskan dari angkatan ke angkatan, dari generasi ke generasi.

Itu sebabnya, tidak jarang kita mendengar "permusuhan abadi" antara dua sekolah, dua fakultas, atau dua universitas, atau juga dua kampung. Dan, kepada setiap siswa baru, juga mahasiswa baru, juga (lagi) warga kampung yang baru pindah ke sana, diberitahukan tentang keberadaan lawan mereka.
Plus, ditanamkan pula betapa perlunya kebencian tersebut terus dilestarikan (tentu saja, dalam mengindoktrinasi mereka yang baru, warta yang disampaikan adalah betapa kita selalu benar dan lawan kita pasti salah!).
*
Kisah cinta klasik antara Romeo dan Juliet juga berlatar belakang permusuhan dan kebencian antardua keluarga yang telah berlangsung sangat lama. Kisah cinta yang berakhir tidak bahagia tersebut sebenarnya merupakan kritik tajam atas tradisi bermusuhan yang melintasi batasan waktu. Tradisi seperti ini ternyata mengorbankan dua orang muda yang sama-sekali tidak terlibat dengan latar belakang permusuhan orangtua atau juga nenek-moyang mereka. Tradisi seperti ini juga membunuh dua orang muda yang sama-sekali tidak merasa perlu saling membenci.

Sayangnya, sekarang ini ternyata kita - disadari atau tidak - tengah mengembangkan "tradisi" permusuhan yang dampaknya akan melampaui batasan waktu. Maksudnya, bisa jadi kesempatan hidup kita di dunia ini sudah berakhir, namun semangat kebencian dan permusuhan yang kita tanamkan masih sangat hidup dan mewarnai kehidupan anak dan cucu kita.

Misalnya saja, dalam suatu kesempatan bisnis kita ditipu oleh seorang pebisnis yang berlatar belakang suku anu. Karena jengkel, saat menggerutu di rumah dan di hadapan anak-anak, kita mengatakan, "Memang suku anu semuanya adalah penipu."
Alhasil, anak-anak kita yang ikut merasakan kejengkelan dan kemarahan kita terdorong untuk membenci suku anu (minimal memiliki rasa tidak suka terhadap suku anu). Padahal mereka tidak pernah ditipu oleh siapapun dari suku anu. Bahkan, bisa jadi salah satu sahabat terbaik mereka di sekolah adalah seseorang dari suku anu!
Atau ketika rumah kita disatroni segerombolan perampok, yang setelah tertangkap diketahui orang ono. Mengetahui identitas para perampok, spontan kita mengumpat, "Dasar orang ono memang penjahat semua!" Tentu saja, sebagai dampak, bukan kesalahan anak-anak kita yang mendengar umpatan tersebut jika mereka kerap memandang curiga teman-teman mereka yang dari ono.
*
Sebuah contoh lain adalah kejengkelan dan kemarahan kita atas serangan Israel terhadap penduduk Palestina di Gaza (termasuk rasa sebal terhadap Amerika Serikat yang mendukung Israel sekalipun tindakannya jelas-jelas mengorbankan begitu banyak nyawa!).

Ekspresi kejengkelan dan kemarahan tersebut, kita ungkapkan dengan beragam cara, misalnya berdemonstrasi, membuat poster dan spanduk, mengumpulkan bantuan dana, menyediakan diri sebagai relawan kemanusiaan, dan lain-lain. Tentu saja tidak ada yang salah dengan aneka ungkapan protes tersebut.
Namun, kita perlu mencermati kata-kata yang kita gunakan saat mengecam serangan tersebut, pula ekspresi wajah kita saat melontarkan kejengkelan dan kemarahan kita. Juga, jangan lupa perhatikan tindakan kita ketika hendak menunjukkan ketidaksetujuan kita.

Sebab, mestinya bukan sekadar kebencian terhadap Israel dan Amerika Serikat yang kita tawarkan kepada mereka yang menyaksikan protes kita (baca: anak-anak kita!), melainkan betapa setiap tindakan kekerasan yang melukai dan melenyapkan nyawa orang lain harus diprotes dan dikecam!

Dalam kepedulian kita terhadap anak-anak kita yang akan hidup di masa depan, betapa kebencian yang kita wariskan pada mereka akan menyulitkan hidup mereka kelak, saat mereka harus berurusan bisnis dengan seorang Israel, atau berjodoh dengan seorang Amerika Serikat!
*
Tampaknya kita perlu banyak belajar dari Tuhan, sang Pencipta yang Maha Pengasih dan Penyayang. Berhadapan dengan kenyataan sekian banyak pejabat negeri ini yang asyik berkorupsi, Tuhan tidak begitu saja mengumpat, Atau, ketika Tuhan melihat kita begitu acuh pada bumi yang Ia ciptakan, tidak semata Tuhan mengekspresikan kemarahan-Nya dengan melenyapkan setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia.
Sebaliknya, bagi Tuhan, membenci dosa dan kesalahan manusia, justru membuat-Nya semakin mengasihi manusia berdosa yang kerap tidak berdaya untuk melawan dosa yang terus menggerogoti hidupnya.

Itu sebabnya, Tuhan menjadikan diri-Nya sendiri sebagai teladan dalam hal mengasihi manusia berdosa. Dan, itu sebabnya Ia bisa mengatakan pada kita "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."

(Matius 5:44)
Dengan cara demikian, mestinya permusuhan yang telah lama terjadi di antara dua sekolah, atau dua fakultas, atau dua universitas, atau dua kampung, atau bahkan dua bangsa tidak lagi terus diperpanjang. Sudah waktunya kebencian dan permusuhan tersebut diakhiri!

Selasa, 26 Januari 2010

HATI - HATI DENGAN HATI

Amsal 4:23

Hati adalah organ tubuh bagian dalam yang paling besar dan paling penting. Hati terletak dalam rongga perut bagian atas sebelah kanan dan terdiri dari 2 bagian yaitu: Belahan Kiri & Belahan Kanan. Hati memiliki fungsi yang sangat penting dalam metabolisme, pencernaan, pengolahan toksin yang masuk ke dalam tubuh dan dikeluarkan melalui usus, juga bertugas membersihkan darah dari obat-obatan dan racun yang menumpuk dalam darah. Betapa besarnya fungsi hati bagi kehidupan manusia. Bagaimanakah pandangan ALKITAB mengenai HATI? Kita akan melihat apa yang dikatakan ALKITAB mengenai HATI.

I. APAKAH HATI ITU?
Menurut konsep PL (Leb) terletak pada tingkat perasaan yang terdalam dan mencatat tanggapan-tanggapan yang paling dalam terhadap hidup. Menurut konsep PB (Kardia) adalah keseluruhan pribadi manusia. Biasa juga menunjuk kepada batin manusia seutuhnya.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa otak menjadi pusat dan pengatur kegiatan manusia. Namun Alkitab mengatakan bahwa HATI-lah yang menjadi pusat. Hatilah yang menentukan pikiran, perasaan, kehendak dan tindakan manusia: Manusia menginsyafi sesuatu dalam hatinya (Ul. 8:5 ), Merenungkan sesuatu (Mzm 19:15), Menyimpan Firman Allah (Mzm 119:11), Berpikir dalam hati (Mrk 2:8), Percaya dalam hati (Roma 10:9). Semua hal tersebut mengacu pada hal-hal yang menyangkut pikiran/intelektual manusia. Ungkapan hati sebagai pusat perasaan manusia antara lain: Hati yang gembira (Ams 17:22), Hati yang penuh kasih, Hati yang takut, Hati yang kuatir, dll. Sedangkan Hati sebagai pusat kehendak antara lain: Hati yang keras dan menolak untuk melakukan perintah Allah (Kel 4:21), Hati yang tunduk, dll.

II. MENGAPA KITA PERLU MENJAGA HATI
1. Lalai menjaga hati akan membuat kita terjebak dan menyimpang
- II Tim 4:10, Demas telah mencintai (agape) dunia ini dan meninggalkan Paulus dan pelayannya.
- Dapat membuat kita kehilangan fokus dan prioritas.
- Dapat mengaburkan motivasi dalam pelayanan.

2. Lalai menjaga hati akan menghancurkan diri sendiri (Ams 17:22)
- Survey di Amerika menunjukkan bahwa antara 40-60% orang yang sakit bermula dari masalah hati/perasaan. Dr. Theodore Rubbin dalam tulisannya "The Angry Book" menulis bahwa, "Kemarahan yang menumpuk dapat menimbulkan rasa bersalah dan memicu beberapa jenis penyakit seperti: Obesitas, Insomnia, Sakit Punggung, Sakit Kepala, Gangguan Fungsi Pencernaan, Penyakit Kulit, Penyakit yang berhubungan dengan kejiwaan, Masalah Seksual dan Kelelahan.
- Kebiasaan menyimpan rasa iri, cemburu, dan kepahitan akan membuat Hati menjadi keras dan tidak peka (Ibr 3:7-19).
Pada dasarnya bukan apa yang terjadi pada diri kita yang terpenting, namun respon kita terhadap hal tersebut adalah yang terpenting. Kita tidak dapat mengontrol setiap masalah, namun kita dapat mengontrol respon kita. Illustrasi: Seorang Tua yang bijaksana dan pemuda. Alasan terbesar mengapa kita harus menjaga hati karena Hati adalah pusat kehidupan kita. Karena semua yang kita pikirkan, rasakan dan lakukan bersumber dari hati.

III . BAGAIMANA CARA MENJAGA HATI
1. Pembaharuan
Langkah pertama adalah mengijinkan Allah senantiasa mengadakan pembaharuan dalam hati kita (Mzm 51:12). mengadakan pembaharuan dalam hati kita (Mzm 51:12 ). Dampak dari pembaharuan tersebut adalah : Akan diberi hati yang baru (Yeh 1 : 19), Hati yang baru akan membangkitkan kasih yang sejati terhadap manusia dan Allah (Mat 22:37-40), Hati yang penuh kasih akan menuntun kepada ketaatan.

2. Tinggal dalam Firman-Nya (Mzm 119:9)
Hati yang kuat berakar di dalam Firman Tuhan yang tidak akan terombang-ambing oleh rupa-rupa pencobaan. Firman itu akan tumbuh dan berakar bila direnungkan dan dilakukan. Tidak cukup hanya diterapkan dalam kehidupan kita. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana Firman itu berakar dan menguasai hati kita ? Kecenderungan kita adalah sudah terlalu dengar banyak khotbah akhirnya menjadi orang Farisi modern yang hanya banyak cakap tanpa tindakan (NATO), pintar menghakimi dan bersilat kata namun tidak ada tindakan. Contoh James Kennedy (Bagaimana jika Alkitab tidak pernah ditulis .....). Oleh sebab itu ijinkan Roh Kudus menguasai dan mengendalikan hati kita. Tempatkan Dia sebagai Raja dan penguasa di dalam hati kita, biarkan ego kita turun tahta.

Kesimpulan:
Dalam hidup ini ada banyak hal yang tidak dapat dikendalikan, namun bukan berarti kita dengan begitu saja dengan mudah mengasihani diri sendiri karena telah menjadi "korban" kehidupan. Sesungguhnya dalam situasi tanpa pilihan pun, kita sebenarnya tetap dapat memilih. Kita memang tidak dapat mengubah ataupun mengontrol apa yang terjadi disekeliling kita namun kita dapat mengontrol dan mengendalikan "dampaknya" terhadap hidup kita. PUSAT KONTROLNYA ADALAH "HATI" KITA

Senin, 25 Januari 2010

TAU MENGUCAPSYUKUR

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”
(I Tesalonika 5:18)

Berhasil…! Demikian ungkapan dan luapan kegembiraan seorang pencari kerja setelah menemukan namanya tertera sebagai salah seorang yang diterima dalam saringan penerimaan Pegawai di salah satu instansi. Sejenak terbersit dipikirannya perenungan masa lampau, disaat masa nganggur yang penuh dengan penderitaan, susahnya mencari pekerjaan dan lamarannya yang selalu di tolak, hidup penuh perjuangan. Terenung kembali bagaimana dalam setiap doanya selalu mengucap syukur buat semua yang masih dapat dia alamai, walau dengan penuh perjuangan, namun iman dan pengharapannya menguatkan dia untuk tetap semangat dan pantang menyerah. Ia yakin, Tuhan tidak akan melupakannya dalam segala hal. Luapan kegembiraan yang menggebu-gebu itu kemudian terusik diganti dengan penyerahan diri dan ucapan syukur buat pemberian Tuhan dalam kehidupannya.

Ilustrasi diatas ingin mengajak kita merenung kembali sudah sejauh manakah kita dalam hidup ini mengucap syukur kepada Tuhan? Dalam hal-hal apa saja kita mengucapkan syukur kepada Tuhan? Apakah hanya disaat kita menerima rejeki baru kita mengucap syukur atau disaat kita menerima kesehatan baru kita mengucap syukur?

Mengucap syukurlah dalam segala hal. Mengapa kita harus mengucap syukur? Karena Tuhan melalui AnakNya Tuhan Yesus Kristus telah melepaskan kita dan menyelamatkan kita dari belenggu dosa, perbudakan dan kematian. Karena Yesus kita telah menerima pengampunan dosa. Oleh sebab itu nafsu duniawi (cinta uang, cinta kekuasaan dll) jangan lagi menggerogoti kehidupan kita, tapi mengucap syukurlah buat apa yang ada pada kita dan buat apa yang sudah kita terima dariNya. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Jumat, 22 Januari 2010

Pemikiran Teologis Modernisme Dan Liberalisme

Teologi modernisme dam liberalisme adalah dua saudara kembar sebagai
hasil dari era akal budi dan humanisme. Teologi ini didirikan di atas
keyakinan pada keunggulan rasionalitas, dan mereka bermaksud
menempatkan Allah dengan akal manusia, bahkan lebih jauh lagi menantang
otoritas gereja dan tradisinya dengan rasionalisme.

Dengan mengambil perasan dan pengalaman sebagai satu-satunya
instrumen bagi pengertian manusia, mereka mencoba menolak semua
kebenaran iman yang self evidence dengan komitmen total pada semangat
positivisme. Disamping menyangkali Allah dan eksistensi-Nya, mereka
memberikan/menyumbangkan kritik tinggi dengan sombong sekali bagi
tradisi dan otoritas apapun, khususnya gereja dan imannya. Mereka
meletakkan keyakinannya pada kemampuan manusia dan menolak
kemungkinan dari Allah dan mujizat. Mereka mempercayai otonomi manusia
dan determinisme, menyatakan bahwa Allah dan iman kepada Allah hanyalah
mungkin ketika manusia hidup di masa-masa kebodohan. Sebagai manusia
masa kini, manusia akan membuang kruk-kruk yang digunakan ketika
pemikiran mereka lemah dan timpang. Manusia masa kini tidak memerlukan
kruk-kruk ini, selain memeliharanya dalam museum sebagai bukti kebodohan
dan keprimitivan manusia.

Dari perspektif lain, kita mendapatkan bahwa yang disebut “rasionalisme”
secara ironis kembali pada mistiksisme dan terisi dengan hikmat dari Timur
yang bersifat kekanak-kanakan. Apa yang dapat kita katakan, jika akal
manusia adalah absolut, mungkin akan memilih apapun juga yang dikehendaki
sesuka hati, termasuk tahayul. Ini adalah konsekuensi, ketika akal adalah tuan
dan homo mensura dari Protagoras adalah doktrinnya, maka ironi tersebut
adalah hasilnya.

Faktanya, liberalisme dan modernisme sangat bersahabat dan
menyenangkan. Namun dalam analisis akhir, kita mendapatkan bahwa mereka
telah membuang kepercayaannya kepada Allah Alkitab dan secara aktual
telah mengambil sains dan akal sebagai Allah. Mereka mengambil posisi yang
nampaknya ingin mengatakan bahwa tidak ada Allah dan semua yang lain
dapat diterima. Ini adalah sebuah tindakan melawan Allah dan
kekristenan yang tidak bertanggungjawab dan diskriminatif. Walapun mereka
masih memelihara bentuk-bentuk tertentu tentang kebaktian, bahkan masih
memelihara yang digunakan ‘gereja’ dan ‘kekristenan’ dan masih giat dalam
misi dan mengutus, namun pada dasarnya kepercayaan mereka adalah doktrin:
fatherhood of God dan brotherhood of man. Ketenangan dan hidup bersama
dengan damai adalah motif dasar keagamaan mereka. Agama bagi mereka
hanyalah sebuah pakaian kehidupan moral dalam masyarakat. Hal itu adalah
baik bagi manusia untuk memilikinya, tetapi sebenarnya tidak mutlak.

Konsekuensinya, kelompok ini tidak percaya lagi pewahyuan,
penebusan-pengganti, dan mujizat. Mereka berbicara tentang sejarah sebagai
perkembangan natural dengan menaruh kepercayaan absolut di dalam hakikat
manusia. Mereka juga percaya pada kesempurnaan, kemutlakan,
ketidakterbatasan rasionalitas manusia. Di dalam agama dan filsafat, mereka
mengambil posisi sinkritisme, dengan menyarankan Kristus hanyalah sebuah
simbol, Dia juga eksis di luar kekristenan. Bagi mereka, gereja hanyalah
institusi sosial belaka; yang harus bersifat demokratis bahkan dengan
kepercayaan-kepercayaannya. Biarkan anggota-anggotanya memutuskan apa
yang mereka ingin percayai dengan semangat liberalisme, dan masing-masing
anggota memutuskan pengakuannya sendiri. Sebagai konsekuensinya,
mereka kehilangan doktrin ineransi adan infalibilitas kitab suci. Di dalam
pengertian seperti itu, mereka sudah memusatkan humanisme sebagai fondasi
teologi. Bagi mereka, manusia adalah pusat alam semesta, tuan dan hakim.
STULOS 6/2 (September 2007) 165-180
agung bagi diri mereka sendiri.

Kamis, 21 Januari 2010

Bekerja Untuk Hidup Atau Hidup Untuk Bekerja?

Ada seorang Ayah dalam sebuah keluarga. Ia adalah seorang pekerja keras yang mencukupi seluruh kebutuhan hidup bagi istri dan ketiga anaknya. Ia menghabiskan malam sesudah bekerja dengan menghadiri kursus-kursus, untuk mengembangkan dirinya dengan harapan suatu hari nanti dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.

Kecuali hari Minggu, sang Ayah sangat susah untuk bisa makan bersama-sama keluarganya. Dia bekerja dan belajar sangat keras karena dia ingin menyediakan keluarganya apa saja yang bisa dibeli dengan uang.

Setiap kali keluarganya mengeluh kalau dia tidak punya cukup waktu dengan mereka, dia selalu beralasan bahwa semuanya ini dilakukan untuk mereka. Tetapi seringkali juga, dia sangat berkeinginan untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Suatu hari tibalah saatnya hasil ujian diumumkan. Dengan sangat gembira, sang Ayah ini lulus, dengan prestasi gemilang pula! Segera sesudah itu, dia ditawarkan posisi yang baik sebagai Senior Supervisor dengan gaji yang menarik.

Seperti mimpi yang menjadi kenyataan, sekarang sang Ayah mampu memberikan keluarganya kehidupan yang lebih mewah, seperti pakaian yang indah-indah, makanan-makanan enak dan juga liburan ke luar negeri.

Namun, keluarganya masih saja tidak bisa bertemu dengan sang Ayah hampir dalam seluruh minggu. Dia terus berkerja sangat keras, dengan harapan bisa dipromosikan ke jabatan Manager. Nyatanya, untuk membuat dirinya calon yang cocok untuk jabatan itu, dia mendaftarkan diri pada kursus lain di Universitas Terbuka. Lagi, setiap saat keluarganya mengeluh kalau sang Ayah tidak menghabiskan cukup waktu untuk mereka, dia beralasan bahwa dia melakukan semua ini demi mereka.

Tetapi, seringkali lagi dia sangat berkeinginan untuk menghabiskan lebih banyak waktu lagi dengan keluarganya.

Kerja keras Sang Ayah berhasil dan dia dipromosikan. Dengan penuh sukacita, dia memutuskan untuk memperkerjakan seorang pembantu untuk membebaskan istrinya dari tugas-tugas rutinnya. Dia juga merasa kalau flat dengan tiga kamar sudah tidak cukup besar lagi, akan sangat baik untuk keluarganya bisa menikmati fasilitas dan kenyamanan sebuah kondominium.

Setelah merasakan jerih payah kerja kerasnya selama ini, sang Ayah memutuskan untuk lebih jauh lagi belajar dan bekerja supaya bisa dipromosikan lagi. Keluarganya masih tidak bisa sering bertemu dengan dia. Kenyataannya, kadang-kadang sang Ayah harus bekerja di hari Minggu untuk menemani tamu-tamunya.

Lagi, setiap kali keluarganya mengeluh kalau dia tidak menghabiskan cukup waktu dengan mereka, dia beralasan kalau semua ini dilakukan demi mereka. Tetapi, seringkali lagi dia sangat berkeinginan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya.

Seperti yang diharapkan, kerja keras sang Ayah berhasil lagi dan dia membeli sebuah kondominium yang indah yang menghadap ke pantai.

Pada malam pertama di rumah baru mereka, sang Ayah mengatakan kepada keluarganya bahwa dia memutuskan untuk tidak mau mengambil kursus dan mengejar promosi-promosi lagi. Sejak saat itu dia ingin memberikan lebih banyak waktu lagi untuk keluarganya.

Namun, sang Ayah tidak bangun-bangun lagi keesokan harinya …..

Pertanyaan untuk Refleksi: Apakah anda bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja?

Senin, 18 Januari 2010

“RENCANA TUHAN INDAH PADA WAKTUNYA”

Ada seorang anak laki-laki yang berambisi bahwa Suatu hari nanti ia akan menjadi jenderal Angkatan Darat. Anak itu pandai dan memiliki ciri-ciri yang lebih daripada cukup untuk dapat membawa nya kemanapun ia mau. Untuk itu ia bersyukur kepada Tuhan, oleh karena ia adalah seorang anak yang takut akan Tuhan dan ia selalu berdoa agar supaya suatu hari nanti impiannya itu akan menjadi kenyataan.

Sayang sekali, ketika saatnya tiba baginya untuk bergabung dengan Angkatan Darat , ia ditolak oleh karena memiliki telapak kaki rata. Setelah berulang kali berusaha, ia kemudian melepaskan hasratnya untuk menjadi jenderal dan untuk hal itu ia mempersalahkan Tuhan yang tidak menjawab doanya. Ia merasa seperti berada seorang diri, dengan perasaan yang kalah, dan di atas segalanya, rasa amarah yang belum pernah dialaminya sebelumnya.

Amarah yang mulai ditujukannya terhadap Tuhan. Ia tahu bahwa Tuhan ada, namun tidak mempercayaiNya lagi sebagai seorang sahabat, tetapi sebagai seorang tiran (penguasa yang lalim). Ia tidak pernah lagi berdoa atau melangkahkan kakinya ke dalam gereja.. Ketika orang-orang seperti biasanya berbicara tentang Tuhan yang Maha Pengasih, maka ia akan mengejek dan menanyakan pertanyaan-pertanya an rumit yang akan membuat orang-orang percaya itu kebingungan.

Ia kemudian memutuskan untuk masuk perguruan tinggi dan menjadi dokter. Dan begitulah, ia menjadi dokter dan beberapa tahun kemudian menjadi seorang ahli bedah yang handal. Ia menjadi pelopor di dalam pembedahan yang berisiko tinggi dimana pasien tidak memiliki kemungkinan hidup lagi apabila tidak ditangani oleh ahli bedah muda ini. Sekarang, semua pasiennya memiliki kesempatan, suatu hidup yang baru.

Selama bertahun-tahun, ia telah menyelamatkan beribu-ribu jiwa, baik anak-anak maupun orang dewasa. Para orang tua sekarang dapat tinggal dengan berbahagia bersama dengan putra atau putri mereka yang dilahirkan kembali, dan para ibu yang sakit parah sekarang masih dapat mengasihi keluarganya. Para ayah yang hancur hati oleh karena tak seorangpun yang dapat me meli hara keluarganya setelah kematiannya, telah diberikan kesempatan baru.

Setelah ia menjadi lebih tua maka ia melatih para ahli bedah lain yang bercita-cita tinggi dengan tekhnik bedah barunya, dan lebih banyak lagi jiwa yang diselamatkan. Pada suatu hari ia menutup matanya dan pergi menjumpai Tuhan. Di situ, masih penuh dengan kebencian, pria itu bertanya kepada Tuhan mengapa doa-doanya tidak pernah dijawab, dan Tuhan berkata, "Pandanglah ke langit, anakKu, dan lihatlah impianmu menjadi kenyataan."

Di sana , ia dapat meli hat dirinya sendiri sebagai seorang anak laki-laki yang berdoa untuk bisa menjadi seorang prajurit. Ia meli hat dirinya masuk Angkatan Darat dan menjadi prajurit.. Di sana ia sombong dan ambisius, dengan pandangan mata yang seakan-akan berkata bahwa suatu hari nanti ia akan memimpin sebuah resimen. Ia kemudian dipanggil untuk mengikuti peperangannya yang pertama, akan tetapi ketika ia berada di kamp di garis depan, sebuah bom jatuh dan membunuhnya. Ia dimasukkan ke dalam peti kayu untuk dikirimkan kembali kepada keluarganya. Semua ambisinya kini hancur berkeping-keping saat orang tuanya menangis dan terus menangis

Lalu Tuhan berkata, "Sekarang lihatlah bagaimana rencanaKu telah terpenuhi sekalipun engkau tidak setuju." Sekali lagi ia memandang ke langit. Di sana ia memperhatikan kehidupannya, hari demi hari dan berapa banyak jiwa yang telah diselamatkannya. Ia meli hat senyum di wajah pasiennya dan di wajah anggota keluarganya dan kehidupan baru yang telah diberikannya kepada mereka dengan menjadi seorang ahli bedah.

Kemudian di antara para pasiennya, ia meli hat seorang anak laki-laki yang juga memiliki impian untuk menjadi seorang prajurit kelak, namun sayangnya dia terbaring sakit. Ia meli hat bagaimana ia telah menyelamatkan nyawa anak laki-laki itu melalui pembedahan yang dilakukannya. Hari ini anak laki-laki itu telah dewasa dan menjadi seorang jenderal. Ia hanya dapat menjadi jenderal setelah ahli bedah itu menyelamatkan nyawanya.

Sampai di situ, Ia tahu bahwa Tuhan ternyata selalu berada bersama dengannya. Ia mengerti bagaimana Tuhan telah memakainya sebagai alatNya untuk menyelamatkan beribu-ribu jiwa, dan memberikan masa depan kepada anak laki-laki yang ingin menjadi prajurit itu. (Diambil dari Inspirational Christian Stories oleh Vincent Magro-Attard)

Untuk dapat melihat kehendak Tuhan digenapkan di dalam hidup anda, anda harus mengikuti Tuhan dan bukan mengharapkan Tuhan yang mengikuti anda.

(Dave Meyer, Life In The Word, Juni 1997)

Rabu, 13 Januari 2010

Gus Dur dan Politik Multikulturalisme

Oleh: A SONNY KERAF


Banyak yang telah ditulis tentang keberpihakan Gus Dur terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Harus diakui bahwa komentar, tafsir, dan berbagai teks tentang Gus Dur akan terus mengalir tiada henti. Ini konsekuensi logis dari dua hal.
Pertama, pluralisme bagi Gus Dur bukan sebuah wacana dan bukan pula sekadar sebuah perjuangan untuk menjadi realitas kehidupan bersama. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, kedua, konsekuensi logisnya, ia menerima adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur.

Tulisan ini ingin mengangkat tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.
Pengakuan

Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti pertama-tama ada pengakuan mengenai adanya orang lain dalam keberbedaan dan keberlainannya. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya.
Konsekuensi lebih lanjut dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok masyarakat yang beragam-ragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai dengan keunikan dan identitasnya. Dasar moral dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini adalah humanisme: setiap orang hanya bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam keunikannya: agama, suku, jenis kelamin, aliran politik.

Pemaksaan terhadap cara hidup yang berbeda dari yang dianutnya adalah sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik, dan sekaligus juga pengingkaran atas identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Demikian pula sebaliknya, penghambatan terhadap orang lain dalam melaksanakan identitas agama, budaya, jenis kelamin, dan aliran politiknya yang berbeda sejauh tidak mengganggu tertib bersama adalah juga sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang unik.

Ini semua dihayati oleh Gus Dur secara konsekuen, termasuk bahkan dianggap nyeleneh dan kontroversial. Namun, itu adalah risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.

Toleransi
Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Memaksa orang lain menjadi kita, atau menghambat orang lain menjadi orang lain, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme.

Hanya saja, yang menarik pada Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayati oleh beliau bukan secara negatif-minimalis: sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya (dalam pengertian luas mencakup agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik). Toleransi yang negatif-minimalis adalah sekadar tidak melarang, tidak menghambat, tidak mengganggu, dan tidak merecoki orang lain dalam penghayatan identitas kulturalnya. Toleransi negatif-minimalis inilah yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua.

Gus Dur justru menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju dari toleransi negatif-minimalis di atas. Yang dihayati dan dipraktikkan beliau adalah toleransi positif-maksimal: membela kelompok mana saja—termasuk khususnya minoritas—yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Maka, ia mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Ia mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan seterusnya.

Toleransi positif-maksimal ini bahkan dihayati Gus Dur secara konsekuen tanpa kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi humanisme: mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan pihak lain.
Kian jadi diri sendiri

Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Gur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang Muslim yang baik dan tulen.
Ini hanya mungkin terjadi karena Gus Dur sendiri sudah oke dengan jati dirinya sendiri, dengan identitas kulturalnya, dan menjalankan identitas kulturalnya secara murni dan konsekuen sebagaimana ia menghendaki orang lain melakukan hal yang sama.
Itu disertai dengan keyakinan yang teguh bahwa semakin orang menjadi dirinya sendiri dalam identitas kulturalnya, maka semakin terjamin tertib sosial. Sebab, ketika seseorang melaksanakan identitas kulturalnya sampai merusak tertib sosial, ia merusak citra diri dan identitasnya, serta identitas semua kelompok kultural terkait.

Artinya, multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia akan justru menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya yang unik.

Proyek besar yang ditinggalkan Gus Dur, yang sekaligus menjadi tantangan kita bersama, adalah bahwa kita masih berbicara tentang multikulturalisme pada tingkat wacana. Kita belum benar-benar menghayati dan melaksanakannya secara konsekuen sebagaimana Gus Dur. Hal itu, antara lain, karena kita terhambat oleh ketakutan kita sendiri.

Pertama, kita takut tidak diterima orang lain dalam keberbedaan dan keunikan identitas kultural dan jati diri kita. Kedua, kita takut akan bayangan kita sendiri yang kita proyeksikan pada orang lain seakan orang lain akan menolak segala praktik kultural kita karena kita sendiri tidak benar-benar oke dengan identitas kultural dan jati diri kita. Ketiga, kita takut kalau-kalau dengan mengakui identitas kultural pihak lain, kita sendiri terbawa hanyut dalam identitas kultural pihak lain lalu kehilangan jati diri.
Minimal Gus Dur telah mengajarkan dan meninggalkan warisan bagi kita bahwa ternyata menghayati dan mempraktikkan multikulturalisme secara murni dan konsekuen itu tidak repot. ”Betul, Gus. Gitu aja kok repot.”

A SONNY KERAF Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Pemerintahan Presiden Gus Dur (1999-2001) dan Pengajar Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Sumber:Kompas. Sabtu, 9 Januari 2010

Bendahara Yang Cerdik

Salah satu keistimewaan dari perumpamaan-perumpamaan yang pernah diajarkan Yesus adalah selalu mengejutkan, menyentak, dan menyadarkan. Yang menjadi "tokoh pahlawan" biasanya orang yang paling tidak diduga. Ciri itu tampak jelas dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-13). Kisah ini memancing kontroversi dan perdebatan di antara para penafsir Alkitab. Meskipun menimbulkan banyak pertanyaan, perumpamaan ini menghadapkan kita pada kebenaran yang esensial tentang kehidupan sebagai seorang murid. Perumpamaan ini pertama-tama disajikan dalam ayat 1-8, lalu diikuti dengan penjelasan tentang prinsip-prinsip di dalamnya, yang diajarkan oleh Tuhan sendiri.

Yesus Menyampaikan Perumpamaan Tentang Bendahara Yang Cerdik (Lukas 16:1-8)
Perumpamaan ini membawa kita memasuki dunia keuangan dan tanggung jawab. Bendahara itu seorang bawahan. Tepatnya, ia hanyalah pegawai yang diserahi kepercayaan oleh tuannya, yang mungkin sedang bepergian, untuk mengawasi usaha dan aset tuannya. Yang jelas, tanggung jawabnya adalah menggunakan kepercayaan itu untuk kepentingan majikannya, bukan dirinya. Namun, godaan untuk menyelewengkan uang bagi tujuan dan kesenangannya sendiri terlalu kuat. Ia menghambur-hamburkan uang itu, melanggar kepercayaan yang diberikan, dan menyalahgunakan harta majikannya. Dan, ketika dituduh lalai, ia tidak bisa menjawab.

Kisah ini hampir sama dengan perumpamaan tentang hamba yang tidak mau mengampuni, dalam Injil Matius pasal 18. Pengulangan situasi yang sama ini menunjukkan bahwa pelanggaran kepercayaan terhadap orang lain, yang umumnya terjadi pada zaman dahulu, terjadi juga pada zaman sekarang. Tentu saja orang itu pantas dipecat. Namun, yang penting untuk diperhatikan adalah posisi si bendahara setelah tuannya berkata, "Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara" (ayat 2).

Perusahaan-perusahaan modern biasanya memerintahkan karyawannya yang dipecat untuk segera mengemasi barang-barang di meja kerjanya, atau jika tidak, orang lain yang disuruh membereskannya. Namun, bendahara dalam Injil Lukas, masih diberi kesempatan. Pemecatan dirinya memang tak mungkin dihindari lagi, tetapi belum merupakan sesuatu yang bersifat final atau segera diumumkan. Sampai laporan keuangannya selesai dibuat, ia masih memiliki kesempatan untuk bertindak. Memang, waktunya amat singkat, karena itu ia harus segera bertindak. Ia tidak boleh membuang-buang waktu.

Di sinilah kecerdikan orang itu akan tampak. Ia tahu, ia tak punya banyak pilihan. Ia terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan kasar dan terlalu gengsi untuk mengemis. Jika tidak bertindak cepat, nasib buruk akan menimpanya. Tetapi, ia tahu benar pepatah yang mengatakan, "Bantulah aku, maka aku akan membantumu." Mungkin ia bisa bermurah hati kepada beberapa orang, sehingga mereka akan balas berbaik hati kepada dirinya.

Rencananya sederhana. Ia memanggil orang-orang yang berutang kepada tuannya dan mengubah surat utang mereka. Bagaimanapun juga, ia telah lama mengelola laporan keuangan tuannya dan ia masih memiliki wewenang yang sah untuk bertindak atas nama tuannya.

"Berapakah utangmu kepada tuanku?"; "Seratus tempayan minyak."; "Inilah surat utangmu yang lama. Tuliskanlah lagi surat utang lain, tapi tulis saja lima puluh tempayan dan saya akan menandatanganinya."

"Berapakah utangmu?"; "Seratus pikul gandum."; "Inilah surat utangmu, buatlah surat utang lain, tuliskan saja delapan puluh pikul dan saya akan menandatanganinya."
Kita tidak tahu praktik bisnis pada abad pertama, sehingga sulit memastikan sesuatu yang sedang terjadi. Beberapa ahli yakin bahwa semua transaksi bisnis di masa itu curang dan bendahara ini menggambarkan kecurangan orang-orang pada masa itu.

Mungkin hal itu benar, tetapi mengingat orang-orang ini mungkin akan terus melakukan bisnis dengan orang kaya itu, tafsiran ini tampaknya tidak sesuai. Yang lebih mungkin adalah transaksi yang dilakukan keduanya terselubung atau tidak sah.
Menurut hukum Musa, para bisnisman Yahudi dilarang mengambil riba dari sesama orang Yahudi. Namun, hal itu membuat transaksi dagang menjadi sulit. Jadi, mereka mengakalinya. Ketika meminjamkan uang, tidaklah sah mencantumkan besarnya bunga dalam surat tagihan. Oleh karena itu, dalam tagihan biasanya hanya tercantum sejumlah uang: jumlah total yang sudah mencakup pinjaman pokok, ditambah bunga dan imbalan bagi si bendahara. Jumlah ini seringkali dinyatakan dalam bentuk barang (misalnya minyak atau gandum). Dengan cara ini, transaksi itu akan tampak sejalan dengan hukum.

Jika benar demikian, mungkin si bendahara memberi potongan jumlah utang yang tertera dalam tagihan itu dengan menangguhkan bunganya. Karena memungut bunga adalah sesuatu yang melanggar hukum Yahudi, maka tuannya tidak punya dasar apabila ingin memberikan sangsi kepadanya. Bisa jadi, orang-orang yang berutang itu mencurigai alasan di balik "kemurahan hati" si bendahara, meskipun begitu mereka tentu dengan senang hati menerima tawarannya. Karena itu, dengan cerdik ia telah berhasil memperdaya tuannya sekaligus mengambil hati para pengutang itu, sehingga mereka pasti akan mengenangnya sebagai bendahara yang baik hati.

Perumpamaan itu diakhiri dengan pernyataan, "Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik" (ayat 8). Kita perlu tahu apa yang dikatakan dan apa yang tidak dikatakan. Tuan itu tidak berkata ia berkenan pada tindakan bendahara itu, tetapi ia terkesan pada tindakannya. Orang itu berhasil memperdaya tuannya. Si majikan tentu tak bermaksud memuji ketidakjujuran si bendahara, tetapi bagaikan atlit yang kalah, dengan muka masam mengomentari keahlian dan strategi lawannya, ia terpaksa mengakui kecerdikan si bendahara.

Karena kata cerdik adalah kata kunci dalam cerita ini, kita perlu merenungkan maknanya dengan seksama. Dalam bahasa Yunani, kata ini berarti "bertindak dengan perhitungan jauh ke depan", dan hal ini digambarkan dalam perkataan Yesus tentang orang yang bijaksana (secara harfiah juga berarti cerdik) yang membangun rumahnya di atas batu untuk siap menghadapi banjir yang datang (Matius 7:24). Juga digambarkan dalam sosok lima gadis yang "bijaksana" (cerdik) yang membawa persediaan minyak untuk persiapan di masa yang akan datang (Matius 25:1-13). Sifat inilah yang dimiliki oleh bendahara yang tidak jujur itu. Ia bertindak dengan tepat dan meyakinkan pada masa sekarang untuk menempatkan dirinya pada masa yang akan datang. Ia bertindak tepat sesuai dengan situasi. Ia menyadari situasi krisis yang dihadapinya dan meraih peluang yang ada karena kemampuannya memandang jauh ke depan. Ia cukup lihai untuk bertindak dengan kecerdikan dan pertimbangan yang praktis.

Kisah ini mengusik kesadaran kita. Walaupun bendahara ini tampaknya menjadi pahlawan, sebenarnya tidak. Tetapi melalui tindakan- tindakannya yang menimbulkan keraguan itu, kita dapat melihat suatu kualitas yang diharapkan juga dimiliki oleh murid-murid Tuhan bila mereka ingin hidup secara efektif di dunia ini.

Rabu, 06 Januari 2010

Ibadah Syukur Awal Tahun HKBP

Rabu, (06/01-2009)pukul 10.00 bertempat di Pearaja-Tarutung berlangsung Ibadah Syukur Awal Tahun HKBP. Ibadah Syukur Awal Tahun HKBP mengambil Tema: Menuju Tema Yang Tersusun Rapi (Efesus 2:21; 4:16) dan Sub Tema: HKBP Menyambut Jubelium 150 Tahun dengan menata diri menjadi gereja yang sungguh-sungguh bersih, teratur, transparan, partisipatif dan akuntabel.

Acara ini dihadiri oleh Pemerintah Daerah yang ada di Tapanuli: Wakil Bupati Taput, Bupati Tapteng, Bupati Humbang Hasundutan, Bupati Tobasa; Para Undangan, Sekum PGI: Pdt. Gomar Gultom, MTh, Praeses, Pendeta Ressort, Lembaga dan Yayasan HKBP, dan Jemaat.

Acara dimulai dengan Ibadah yang dipimpin oleh Pdt Martin Manullang STh sebagai Liturgis dan Pdt Dr Martonggo Sitinjak sebagai pembawa Firman. Acara juga dimeriahkan dengan persembahan Koor dari gereja dan lagu yang dibawakan oleh Trio Perdana dan Trio Lasidos yang dipimpin oleh Amran Silaen.

Kata-kata sambutan disampaikan oleh Ketua Panitia: Pdt Donal Sipahutar STh, mewakili anggota jemaat dari bonapasogit dan parserahan, Mewakili Pemkab Tapanuli dan Taput, dan diakhiri dengan Bimbingan dan Arahan dari Ephorus HKBP Pdt Dr Bonar Napitupulu. Sebelum arahan dan bimbingan, Ompung Boru mempersembahkan sebuah lagu dan mendapat penghargaan lelang sebesar Rp. 136 juta.

Tahun 2010 merupakan Tahun Penatalayanan. Melalui tahun ini, gereja HKBP diharapkan menuju gereja yang rapi tersusun dari tingkat jemaat sampai ke pusat. Rapi tersusun dalam administrasi dalam administrasi dan organisasi, keuangan dan kepersonaliaan. gereja haruslah memahami bahwa semua harta, uang dalam gereja adalah milik Tuhan dan harus dipersembahkan kepada Tuhan. Dan semuanya haruslah berjalan dengan tertib dan teratur. "DaripadaNyalah seluruh tubuh yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih".

Selasa, 05 Januari 2010

To All...

To Those Who Are..SINGLE
Love is like a butterfly. The more you chase it, the more it eludes you. But if you just let it fly, it will come to you when you least expect it. Love can make you happy but often it hurts, but love's only special when you give it to someone who is really worth it. So take your time and choose the best.

To Those Who Are...NOT SO SINGLE
Love isn't about becoming somebody else's 'perfect person.' It's about finding someone who helps you become the best person you can be.

To Those Who Are ... A PLAYER
Never say 'I love you' if you don't care. Never talk about feelings if they aren't there. Never touch a life if you mean to break a heart. Never look in the eye when all you do is lie. The cruelest thing a guy can do to a girl is to let her fall in love when he doesn't intend to catch her fall and it works both ways...

To Those Who Are ...MARRIED
Love is not about 'it's your fault', but 'I'm sorry.' Not 'where are you', but 'I'm right here.' Not 'how could you', but 'I understand.' Not 'I wish you were', but 'I'm thankful you are.'

To Those Who Are... ENGAGED
The true measure of compatibility is not the years spent together but how
good you are for each other.

To Those Who Are .. HEARTBROKEN
Heartbreaks last as long as you want and cut as deep as you allow them to go. The challenge is not how to survive heartbreaks but to learn from them.

To Those Who Are...NAIVE
How to be in love: Fall but don't stumble, be consistent but not too persistent, share and never be unfair, understand and try not to demand, and get hurt but never keep the pain.

To Those Who Are .. POSSESSIVE
It breaks your heart to see the one you love happy with someone else but it's more painful to know that the one you love is unhappy with you.

To Those Who Are... AFRAID TO CONFESS
Love hurts when you break up with someone. It hurts even more when someone breaks up with you. But love hurts the most when the person you love has no idea how you feel.

To Those Who Are .. STILL HOLDING ON
A sad thing about life is when you meet someone and fall in love, only to find out in the end that it was never meant to be and that you have wasted years on someone who wasn't worth it. If he isn't worth it now he's not going to be worth it a year or 10 years from now. Let go .....