Senin, 16 Agustus 2010

SUAMI-ISTRI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini. Oleh karena itu kepada manusia Tuhan memberikan hak dan kewajiban untuk dijalankan. Hak dan kewajiban merupakan suatu kesinambungan yang berdampingan dalam kehidupan manusia. Untuk menentukan keberlangsungan kehidupan rumahtangga, manusia diberikan hak untuk mendapatkan pendamping yang sesuai dengan kata hatinya. Disamping haknya, manusia dituntut akan suatu kewajiban yang mesti dijalankan. Apakah dia sebagai suami atau sebagai istri, keduanya dituntut untuk menjalankan fungsinya masing-masing.

Menjalankan hak dan kewajiban dalam rumahtangga merupakan suatu hal yang biasa namun rumit, namun tergantung dari bagaimana pasangan itu menjalankannya. Namun, hal yang didambakan oleh pasangan suami-istri dalam menjalankan hak dan kewajibannya adalah mendapatkan keharmonisan yang penuh kasih sayang dalam keluarga. Hal yang mau diutarakan, bahwa hak dan kewajiban suami-istri adalah membina komunikasi yang harmonis serta penuh kasih sayang dalam rumahtangga.

Suami-Istri: Membina Keluarga Harmonis


Dalam kehidupan suami-istri, keharmonisan itu bisa terwujud jika ada kerjasama dalam keluarga tersebut sebagai sebuah tim. Dimana didalamnya satu sama lain saling menghargai, saling menghormati, saling memerlukan dan saling mencintai.

Sebagian besar pasangan suami-istri yang baru membina hubungan rumahtangga menyatakan bahwa pada awalnya hubungan suami-istri tidak ada masalah dan semua berjalan dengan baik. Namun setelah menjalani hubungan rumahtangga beberapa lama mulailah muncul perubahan-perubahan. Hal ini bisa saja terjadi karena kurangnya komunikasi dan mendiskusikan suatu masalah yang dihadapi. Akibatnya lama kelamaan masalah yang belum terselesaikan itu bertumpuk. Apa yang dulunya merupakan kebanggan dan kekaguman dari pasangan berubah menjadi kelihatan kurang menarik.

Untuk membina hubungan suami-istri agar tetap berjalan harmonis, maka yang utama adalah jagan sampai mencoba pasangan agar sama dengan apa yang kita inginkan. Yang terbaik dalam membina hubungan rumahtangga adalah memperlihatkan diri walau dengan warna masing-masing, namun masing-masing memahami kenapa warna itu berbeda. Misalnya dalam mendampingi si siamu, bisakah istri sebagai partner atau mitra suami. Bukan istri harus melayani suami atau suami melayani istri, tetapi sebagai partner, siapa yang sempat dia yang melakukan, siapa yang tidak sempat dia dibantu dengan iklas. Sebagai partner, saling memerlukan, saling membutuhkan dan saling menghargai. Pasangan suami-istri semestinya mempunyai anggapan bahwa setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Selain itu hal yang penting yang semestinya diperhatikan adalah komunikasi. Komunikasi adalah suatu jembatan untuk mengunggkapkan perasaan yang tidak dapat ditunjukkan dengan sikap dan perilaku. Dengan berkomunikasi, pasangan suami-istri dapat saling mengutarakan isi hati dan perasaan masing-masing. Apa yang akan terjadi jika dalam sebuah keluarga tidak ada komunikasi? Keluarga itu dapat diibaratkan dengan seperti alur-alur sungai yang tidak akan dapat diseberangi. Oleh karena itu, komunikasi dalam keluarga adalah suatu hal yang terpenting untuk jalinan kasih dalam keluarga. Karena komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang didalamnya disertai dengan kasih. Bahkan di dalam pembicaraan singkat, perlu menyertakan kasih yang kelaur dari hati. Jadi komunikasi itu bukanlah sekedar basa-basi saja atau sekedar pemanis mulut agar pembicaraan di meja makan tidak hambar.

Berkomunikasi dari hati berarti kita menyatakan kesungguhan hati kita untuk memahami setiap perasaan pasangan kita. Karena itu, di dalamnya diperlukan juga kerelaan untuk mendengarkan. Dengan sikap mau mendengarkan maka setiap anggota keluarga akan merasa menjadi pribadi yang penting dan berharga. Tak ada lagi yang merasa satu lebih rendah daripada yang lain. Penerimaan atau penghargaan di dalam keluarga untuk setiap anggotanya dapat menjadikan setiap pribadi di dalamnya menjadi orang yang penuh percaya diri. Hal inilah yang menjadi bekal terpenting bagi setiap anngota kelaurga untuk berani tampil di dalam masyarakatdan melayani orang lain. Karena itu, janganlah mengabaikan komunikasi, karena itu sangat penting.

Menciptakan Rasa Aman

Berbicara tentang rasa aman dalam tumahtangga tentu saja akan menunjuk kepada ketenangan batin anggota keluarga. Seorang suami akan merasa aman ketika ia tahu istrinya mempercayainya dan komitmennya terhadap pernikahan mereka. sebaliknya, rasa aman yang akan dirasakan oleh istri akan datang saat suami menolongnya lepas dari ketakutan lewat kata-kata penghiburan yang menenagkan dan penuh kasih. Komitmen terhadap pasangan dapat dikomunikasikan melalui dukungan yang penuh dan pujian yang tulus dan bukan dengan kepura-puraan.

Dalam kehidupan suami-istri, pasti akan ada hal-hal yang tidak dapat dihindarkan, seperti mengalami sakit hati, kejengkelan, dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa dasar dari pernikahan adalah bahwa dua pribadi yang tidak sempurna bertekad menjadi satu dalam kedekatan yang sejajar. Hal ini merupakan hak dan kewajiban suami-istri dalam mengarungi rumahtangga mereka.

Rasa aman akan muncul dalam kepribadian kedua pasangan apabila mengingat kembali dasar pernikahan mereka yaitu kasih. Karena kasih mereka menjadi satu, dan karena kasih itu mereka akan merasakan rasa aman dalam kehidupan mereka. Di samping itu, perlu menyadari bahwa rasa aman yang datang dari Tuhan dapat menolong setiap pasangan untuk saling mengasihi. Tuhan berkomitmen mengasihi kita sekalipun Dia mengetahui kelemahan, kegagalan, dan kekurangan manusia. Betapa indahnya bila dalam pernikahan setiap pasangan menerapkan hal yang sama terhadap pasangannya. Karena cinta sejati merupakan komitmen tak bersyarat untuk mencintai pribadi yang tidak sempurna.

Hubungan seperti itulah yang membuat masing-masing membuat aman. Inilah dasar bagi tercapainya keintiman dalam pernikahan. Merasa aman berarti bebas dari bahaya dan perasaan takut. Suami atau istri akan merasa aman bila merasa dirinya diperhatikan, dilindungi, disayangi dan dipelihara oleh pasangannya. Setiap pasangan akan merasa puas bila kebutuhan mereka terpenuhi – tetapi suami-istri akan merasa aman apabila kebutuhan masa depan mereka terpenuhi. Hal inilah yang merupakan hal pokok hak dan kewajiban suami-istri.

Menjadi Orangtua Bijak Bagi Anak

Anak adalah seumpama mutiara bagi orangtuanya. Mereka selalu menginginkan agar anaknya menjadi orang yang memiliki masa depan yang gemilang. Namun tak jarang juga orangtua menganggap bahwa anak tidak tahu apa-apa, sehingga mereka memaksakan segala pemikirannya kepada anaknya. Dengan demikian, si anak akan menjadi orang yang sering mengeluh.

Berbicara tentang kewajiban orang tua terhadap anak, selayaknya orangtua memberikan pendidikan, rasa aman, rasa cinta dan kasih sayang kepada anak. Kasih sayang yang diberikan kepada anak tidak selalu dengan memberikan materi atau benda. Dengan memberikan perhatian atau dengan memeluk anak yang berhasil dalam suatu kegiatan merupakan bentuk kasih sayang yang tulus terhadap anak. Memberi tempat sebagai curahan hati disaat anak memerlukan sudah merupakan kasih sayang bagi si anak.

Selain itu, mendidik dengan penuh kasih sayang bisa menanamkan kepada anak bahwa pengetahuan dan wawasan yang luas. Dalam mendidik, orangtua perlu memakai dasar pikiran bahwa semua anggota keluarga harus belajar hidup saling menghargai sebagai sesama. Orangtua berperan untuk mendorong agar si anak memiliki keyakinan dan harga diri. Orangtua yang bijak selalu memberikan kepercayaan kepada anaknya, percaya kepada kemampuan mereka menjalankan tanggungjawab. Orangtua yang bijak akan selalu menghargai usaha dan perbaikan si anak dan tetap selalu memberikan bimbingan terhadap anaknya. Membimbing berarti memberi dorongan kepada anaknya untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan yang disertai dengan moral.

Orangtua yang bijak akan selalu mendorong anaknya ke arah pengembangan pribadi yang sehat. Ketika si anak mengalami kelelahan, ketika kesabarannya menurun, humor sangat membantu dalam menjaga komunikasi agar tetap menyegarkan si anak. Orangtua yang bijak dapat menjaga hubungan yang harmonis, terbuka, saling respek, dan berdasarkan kasih sayang. Anak perlu diberi kasih sayang dan perhatian. Dapat dibayangkan apabila tanggungjawab orangtua ini diabaikan, maka anak akan merasa kekosongan dan merasa bahwa mereka tidak diperlukan oleh orangtuanya. Mereka akan mencari sesuatu diluar yang dapat memenuhi jiwa mereka di luar rumah. Akibatnya mereka akan hidup di dalam perbuatan yang kurang baik.

Apabila sikap diatas dapat ditanamkan dalam diri setiap anggota keluarga, maka akan muncul keluarga yang saling menyanyangi. Perasaan aman, komunikasi yang harmonis dan sikap yang terbuka akan menjadi ciri keluarga yang harmonis. Oleh sebab itu, hak suami-istri adalah untuk saling memiliki dengan penuh dan berkewajiban untuk menjadikan keluarga itu yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Senin, 02 Agustus 2010

DEMONSTRASI SEBAGAI SUATU REALITAS SOSIAL INDONESIA
DI ERA REFORMASI



“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu). Semboyan tersebut sudah sering kali kita dengarkan di telinga kita. Semboyan ini merupakan dikumandangkan pada perjuangan Indosenia dalam merebut kemerdekaan. Dan tanpa terasa, kini bangsa Indonesia telah memasuki 65 tahun kemerdekaannya yang ditandai dengan era reformasi. Namun semuanya itu tidak lepas dari munculnya perdebatan-perdebatan yang memicu demonstrasi, kekerasan dan ketidak adilan sosial dalam kehidupan realitas masyarakat Indosenia.

Ketidak Adilan dan Ketidak Puasan sebagai Awal Demonstrasi

Indonesia telah merdeka dari penjajahan, namun sebagai gantinya muncul berbagai tragedi berdarah dan kekejaman yang telah mencoreng dan memburamkan lembaran sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Rasa persaudaraan sebangsa dan rasa saling percaya yang dulu ada hampir kandas dari hati sanubari. Keramah-tamahan, keakraban dan persatuan bukan lagi menjadi suatu yang ikhlas dan wajar, tetapi semuanya telah diukur dengan ukuran apa untungnya dan apa ruginya. Kita kini hidup dalam hiruk pikuk kepausan hingga mengabsahkan kebuasan. Buas terhadap sesama dan buas terhadap alam ciptaan Tuhan.

Sepertinya para penguasa telah terbiasa memoles realitas sosial. Jumlah korban diminimalisasi sedemikian rupa dan jumlah keberhasilan yang mereka capai dipublikasikan hingga “langit ketujuh”. Bangsa Indonesia sudah terlalu lama dibius oleh prinsip-prinsip “kedamaian yang ditututp-tutupi dengan rapi” di bawah janji muluk penuh tipu muslihat seperti toleransi, kepentingan umum, persatuan dan kesatuan bangsa, pembangunan nasional hanya untuk menutupi ketidak adilan sebagai faktor utama keresahan dan kerusuhan dan perang antar politik orang-orang pintar.

Kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mementingkan diri sendiri menjadi suatu hak yang lumrah dan wajar tanpa memandang kesekeliling; sehingga si kaya menjadi kaya, simiskin menjadi miskin, dan yang lemah menjadi tidak berdaya. Kehidupan masyarakat semakin kacau, kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, sehingga menimbulkan demonstrasi tanpa memandang lapisan untuk menuntut keadilan. Tidak adanya keseimbangan pembangunan antar daerah, memicu banyak daerah ingin melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian apakah semboyan diatas masih perlu dipertahankan atau dibuang begitu saja?

Ketidak adilan sering diserukan sebagai faktor pendukung demonstrasi dan reformasi. Ketidak adilan dalam segala sendi kehidupan disebabkan oleh supermasi hukum yang diinjak-injak. Hukum dijalankan tidak dengan semestinya. Hukum diberlakukan dengan dengan tidak adil, hukum dilecehkan, hukum dipakai untuk menindas rakyat. Hukum dapat dibeli dengan jabatan dan kekuasaan. Kondisi yang demikian semakin berlarut-larut dan mengakibatkan hati dan perasaan rakyat semakin panas, hal ini diperkuat dengan datangnya krisis yang berkepanjangan. Keadaan ekonomi yang semakin sulit semakin mudah meminta daerah memisahkan diri dari NKRI, tiada lagi rasa memiliki, yang ada hanya demonstrasi menuntut keadilan dan hak yang diabaikan.

Jelas sekali bahwa persaingan tidak sehat sangat dekat dengan kekerasan. Ketika persaingan lebih mengemuka dalam kehidupan, disitu kekerasan sedang dibiarkan yang pada gilirannya bertumbuh subur menjadi peperangan tak berperikemanusiaan. Kini masyarakat kita menanti-nantikan kesejahteraan, tapi yang hanya adalah kesengsaraan dan kemelaratan. Kesejahteraan dan keadilan yang diharapkan dari orang-orang yang berkuasa hanya sebagai pemanis kata dan tinggal impian. Rakyat merana, bosan dan yang muncul hanyalah demonstrasi sebagai aksi atas keadilan dan kesejahteraan yang tertunda.

Demonstrasi Sebagai Jawaban?

Pada saat ini demonstrasi dipandang dan diyakini sebagai satu-satunya cara efektif dalam mewujudkan aspirasi rakyat. Kendati aksi demonstrasi itu dinilai tidak lagi eksklusif di kalangan mahasiswa dan kampus, namun harus diakui sudah merembes ke tingkat politik lokal seperti di kawasan pedesaan, kecamatan maupun tingkat pemerintahan daerah lainnya. Penolakan terhadap pilkades, tuntutan terhadap perlu mundurnya para kepala desa, camat atau bupati merupakan bukti ekspansi tren demonstrasi di kalangan masyarakat.

Ada tiga prakondisi (awal) dasar kenapa demonstrasi muncul sebagai primadona dalam penyelesaian masalah sosial dan pemerintahan. Pertama, ketidak-sensitifan para pemegang kekuasaan, administrator dan birokrasi dalam merespon aspirasi serta opini masyarakat. Mereka yang sudah duduk dalam kekuasaan justru berpikir merekalah sesungguhnya yang lebih mengetahui keinginan rakyat. Mereka memandang pendapat masyarakat hanya sekadar asesoris belaka tanpa perlu dipertimbangkan secara matang. Akibat lebih lanjut dari ketidak-sensitifan ini adalah munculnya perilaku arogansi (perdebatan) kekuasaan yang berlebihan. Kedua, masyarakat terlalu lama hidup dalam ketertekanan utamanya dari segi konteks politik. Masyarakat tidak lagi mempunyai saluran komunikasi yang efektif untuk merealisasikan harapan dan tujuan mereka bersama. Ketiga, mentalitas aparatur yang berdasarkan pada pembenaran patron-client relationships (kerjasama antara penguasa-rakyat) menyebabkan rakyat powerless (tak berdaya). Selama ini clients (rakyat) harus tunduk kepada patron (penguasa). Ketaatan ini tidak dilandasi oleh beneficial relations (kerjasama yang baik), tetapi sebaliknya justru bersifat eksploitatif.

Contoh berbagai kasus yang terjadi selama Orde Baru dan tampaknya sekarang masih berlanjut adalah implementasi kebijakan khususnya di bidang perekonomian yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Akibatnya, jika beberapa aktor ekonomi nasional ini collapse (runtuh), maka berdampak pada ambruknya sistem tata ekonomi seperti yang terjadi saat ini. Singkatnya, demonstrasi muncul sebagai luapan emosi banyak orang yang terlalu lama terpendam dan tidak mempunyai sarana efektif untuk menyalurkan permasalahannya.

Munculnya sikap masyarakat untuk tidak mau berdialog, dan lebih berpreferensi melakukan demonstrasi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, dialog selama ini hanya dijadikan sekadar wacana formal saja. Dialog akan berakhir sebagai dialog semata dan tidak ada tindak lanjutnya. Gus Dur menyebutnya sebagai terlalu banyak pidato dan tidak ada action-nya. Ini sebagai pantulan dari arogansi kekuasaan yang selama bertahun-tahun dialami oleh rakyat Indonesia.
Kedua, kepercayaan terhadap hukum sedang menurun dengan drastis. Ini karena 'law enforcement' tidak didasarkan pada fondasi hukum sebagaimana mestinya. Bahkan dengan perasaan kesal, jengkel dan campur menyesal. Reformasi hukum yang semestinya berjalan ternyata tidak terjadi bahkan praktik-praktik masa rezim Orde Baru masih berlangsung saat ini.

Ketiga, birokrasi yang lamban semakin memperkeruh suasana dan mendorong munculnya demonstrasi serta aksi-aksi lainnya. Birokrasi yang tidak lagi responsif, lamban, kaku, dan tidak adaptif memberikan suasana yang kondusif untuk munculnya ketidakpuasan-ketidakpuasan yang disalurkan lewat aksi demonstrasi.

Jadi tawaran dialog hanya akan berlangsung dan responsif kalau para pihak yang berdialog yakin dan percaya bahwa apa yang dibahas dan didialogkan itu akan ditindaklanjuti. Tetapi jika dialog hanya semata-mata wacana formal untuk melanggengkan tujuan dan mission penguasa semata, maka mustahil dialog menjadi wahana komunikasi yang efektif. Akhirnya, pilihan demonstrasilah yang diyakini sebagai jalan satu-satunya dalam menyelesaikan dan menjawab problema-problema yang ada.

Suatu refleksi menuju perubahan

Dalam keadaan ini, semua pihak terkait; pemerintah dan masyarakat, harus terlibat dan ambil bagian dalam peneyelesaian masalah diatas. Dalam hal ini yang diperlukan adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai agar serasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah bergeser dari prinsipnya.

Keperdulian pemerintah terhadap masyarakat, keadilan sosial dan pemerataan pembangunan adalah hal yang paling utama dan paling pokok dalam permasalahan ini. Perubahan dan perbaikan itu dapat terwujud jika pemerintah dan masyarakat merenungkan dan benar-benar kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Yang perlu diingat adalah bahwa masyarakat Inonesia adalah masyarakat yang berbudaya, cinta akan kedamaian dan persatuan seperti yang terkandung dalam pengamalan Pancasila..

Dengan perenungan pribadi, mengenal diri dan berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan kedepan atas tujuan bersama merupakan langkah awal menuju perubahan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan perenungan, komitmen dan perubahan atas keegoan pribadi maka kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan dapat dimulai dengan baik.