Kamis, 28 Januari 2010

Mewarisi Benci

Dendam: luka batin/jiwa yang diturunkan pada anak cicit

Timur Citra Sari, Mobil di depan mendadak berhenti. Sambil mengomel, pengemudi yang membawa saya dan sejumlah teman, segera menginjak rem. Semua obrolan di dalam mobil pun tidak berlanjut. Kami melongokkan kepala ke depan, berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan perjalanan kami tiba-tiba tertunda.
Mendadak, sebutir batu sebesar kepalan tangan orang dewasa terlihat melintas cepat dan mendarat di atap mobil. "Duk!" Bunyi kerasnya mengejutkan kami semua. Dan, dengan segera kami tahu apa yang menjadi penyebab mobil di depan kami tadi mendadak berhenti. Ada tawuran!

Beberapa pelajar berlari-lari melewati mobil kami. Tangan mereka terlihat menggenggam batu, ikat pinggang, kayu, dan entah apa lagi. Dalam rasa ngeri karena terjebak tawuran pelajar, mobil kami dan mobil-mobil lainnya berusaha berbalik arah sesegera mungkin. Klakson mobil pun terdengar riuh bersahut-sahutan. Dari jauh terdengar suara sirene mobil polisi. Waduh!
*
Tawuran pelajar bukan satu-satunya jenis tawuran yang kita kenal. Kakak-kakak mahasiswa telah menunjukkan bagaimana sebuah tawuran mahasiswa berlangsung baik antarfakultas dalam satu universitas, atau juga antar universitas kepada kita. Tidak ketinggalan, para bapak (dan ibu?) memperkenalkan tawuran antarkampung atau antarkompleks yang tidak kalah seru dibandingkan dengan tawuran anak-anak mereka.
Jika kita mengikuti berbagai pemberitaan analisis mengenai tawuran-tawuran tersebut, kita kerap dibuat tercengang saat mendengar betapa pemicu tawuran bisa jadi teramat sepele dan remeh. Misalnya saja, seorang pelajar dianggap melotot kepada pelajar lainnya. Maka, tawuran pun dimulai. Atau, seorang mahasiswi ditaksir dua mahasiswa dari dua fakultas yang berbeda. Maka, kejadian ini dianggap cukup untuk meletuskan sebuah tawuran. Atau lagi, beberapa penghuni kampung terlihat membuang sampah di kampung lainnya. Maka, bendera tawuran segera dikibarkan. Astaga!
Namun, tunggu dulu. Jika ditelusuri lebih lanjut, biasanya kita akan menemukan betapa bibit-bibit kebencian antarpelajar, antarmahasiswa, atau antarwarga kampung yang gemar bertawuran seperti di atas ternyata telah ditabur sejak lama.
Pemicunya bisa jadi sebuah peristiwa yang up to date, namun niat dan semangat untuk bertawuran sudah dan terus diwariskan dari angkatan ke angkatan, dari generasi ke generasi.

Itu sebabnya, tidak jarang kita mendengar "permusuhan abadi" antara dua sekolah, dua fakultas, atau dua universitas, atau juga dua kampung. Dan, kepada setiap siswa baru, juga mahasiswa baru, juga (lagi) warga kampung yang baru pindah ke sana, diberitahukan tentang keberadaan lawan mereka.
Plus, ditanamkan pula betapa perlunya kebencian tersebut terus dilestarikan (tentu saja, dalam mengindoktrinasi mereka yang baru, warta yang disampaikan adalah betapa kita selalu benar dan lawan kita pasti salah!).
*
Kisah cinta klasik antara Romeo dan Juliet juga berlatar belakang permusuhan dan kebencian antardua keluarga yang telah berlangsung sangat lama. Kisah cinta yang berakhir tidak bahagia tersebut sebenarnya merupakan kritik tajam atas tradisi bermusuhan yang melintasi batasan waktu. Tradisi seperti ini ternyata mengorbankan dua orang muda yang sama-sekali tidak terlibat dengan latar belakang permusuhan orangtua atau juga nenek-moyang mereka. Tradisi seperti ini juga membunuh dua orang muda yang sama-sekali tidak merasa perlu saling membenci.

Sayangnya, sekarang ini ternyata kita - disadari atau tidak - tengah mengembangkan "tradisi" permusuhan yang dampaknya akan melampaui batasan waktu. Maksudnya, bisa jadi kesempatan hidup kita di dunia ini sudah berakhir, namun semangat kebencian dan permusuhan yang kita tanamkan masih sangat hidup dan mewarnai kehidupan anak dan cucu kita.

Misalnya saja, dalam suatu kesempatan bisnis kita ditipu oleh seorang pebisnis yang berlatar belakang suku anu. Karena jengkel, saat menggerutu di rumah dan di hadapan anak-anak, kita mengatakan, "Memang suku anu semuanya adalah penipu."
Alhasil, anak-anak kita yang ikut merasakan kejengkelan dan kemarahan kita terdorong untuk membenci suku anu (minimal memiliki rasa tidak suka terhadap suku anu). Padahal mereka tidak pernah ditipu oleh siapapun dari suku anu. Bahkan, bisa jadi salah satu sahabat terbaik mereka di sekolah adalah seseorang dari suku anu!
Atau ketika rumah kita disatroni segerombolan perampok, yang setelah tertangkap diketahui orang ono. Mengetahui identitas para perampok, spontan kita mengumpat, "Dasar orang ono memang penjahat semua!" Tentu saja, sebagai dampak, bukan kesalahan anak-anak kita yang mendengar umpatan tersebut jika mereka kerap memandang curiga teman-teman mereka yang dari ono.
*
Sebuah contoh lain adalah kejengkelan dan kemarahan kita atas serangan Israel terhadap penduduk Palestina di Gaza (termasuk rasa sebal terhadap Amerika Serikat yang mendukung Israel sekalipun tindakannya jelas-jelas mengorbankan begitu banyak nyawa!).

Ekspresi kejengkelan dan kemarahan tersebut, kita ungkapkan dengan beragam cara, misalnya berdemonstrasi, membuat poster dan spanduk, mengumpulkan bantuan dana, menyediakan diri sebagai relawan kemanusiaan, dan lain-lain. Tentu saja tidak ada yang salah dengan aneka ungkapan protes tersebut.
Namun, kita perlu mencermati kata-kata yang kita gunakan saat mengecam serangan tersebut, pula ekspresi wajah kita saat melontarkan kejengkelan dan kemarahan kita. Juga, jangan lupa perhatikan tindakan kita ketika hendak menunjukkan ketidaksetujuan kita.

Sebab, mestinya bukan sekadar kebencian terhadap Israel dan Amerika Serikat yang kita tawarkan kepada mereka yang menyaksikan protes kita (baca: anak-anak kita!), melainkan betapa setiap tindakan kekerasan yang melukai dan melenyapkan nyawa orang lain harus diprotes dan dikecam!

Dalam kepedulian kita terhadap anak-anak kita yang akan hidup di masa depan, betapa kebencian yang kita wariskan pada mereka akan menyulitkan hidup mereka kelak, saat mereka harus berurusan bisnis dengan seorang Israel, atau berjodoh dengan seorang Amerika Serikat!
*
Tampaknya kita perlu banyak belajar dari Tuhan, sang Pencipta yang Maha Pengasih dan Penyayang. Berhadapan dengan kenyataan sekian banyak pejabat negeri ini yang asyik berkorupsi, Tuhan tidak begitu saja mengumpat, Atau, ketika Tuhan melihat kita begitu acuh pada bumi yang Ia ciptakan, tidak semata Tuhan mengekspresikan kemarahan-Nya dengan melenyapkan setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia.
Sebaliknya, bagi Tuhan, membenci dosa dan kesalahan manusia, justru membuat-Nya semakin mengasihi manusia berdosa yang kerap tidak berdaya untuk melawan dosa yang terus menggerogoti hidupnya.

Itu sebabnya, Tuhan menjadikan diri-Nya sendiri sebagai teladan dalam hal mengasihi manusia berdosa. Dan, itu sebabnya Ia bisa mengatakan pada kita "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."

(Matius 5:44)
Dengan cara demikian, mestinya permusuhan yang telah lama terjadi di antara dua sekolah, atau dua fakultas, atau dua universitas, atau dua kampung, atau bahkan dua bangsa tidak lagi terus diperpanjang. Sudah waktunya kebencian dan permusuhan tersebut diakhiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar