Jumat, 16 Oktober 2009

SUMBANGSIH PLATO DAN ARISTOTELES BAGI TEOLOGI

Tulisan singkat ini saya maksudkan sebagai sebuah tulisan “pembuka pikiran” bagi rekan-rekan mahasiswa program of Campus atau e_learning STT Bethel The Way yang mengambil Mata Kuliah Pengantar Filsafat. Saya menyadari bahwa betapa sulit dan peliknya mempelajari ilmu filsafat. Karena itu tulisan singkat dan sederhana ini membantu rekan-rekan menyelesaikan tugas makalah. Tulisan ini akan dismpaikan secara bertahap.
Pendahuluan

Seyogyanya Filsafat Barat lebih mencirikan hasil otonomi akal atau rasio. Segala sesuatu diselidiki secara mendalam oleh pemikiran manusia. Bahkan menjadi cikal bakal munculnya science. Meskipun Filsafat Barat tidak langsung berada pada fase sekarang ini sebagai ilmu (ilmu filsafat. Disebut ilmu karena filsafat dalam kerangka kerjanya harus menggunakan kerangka kerja science atau metode ilmiah dan harus memiliki objek kajian baik materil maupun formal). Sebut saja Filsafat Yunani. Filsafat Yunani seperti yang dikenal sekarang ini pun berkembang secara evolutif atau filsafat mengalami tahap demitologisasi. Filsafat Yunani dalam sejarahnya, berangkat dari mite-mite. Dengan kata lain para Filsuf Yunani kuno atau biasa disebut juga filsuf alam menggunakan mite-mite dalam lingkup agama sebagai tools. Misalnya Thales – Thales memahami arche alam semesta adalah air – en ‘o hodor (awal mula segala sesuatu adalah air).

Penggunaan mite dalam kerangka tadi paling tidak menjadi dasar munculnya “keyakinan”. Bahwa filsafat merupakan kerja akal atau seperti yang dikatakan Harun Hadiwijono “filsafat dilahirkan karena kemenagan akal atas mite-mite baik tentang agama, asal mula segala sesuatu maupun manusia”. Dengan metode keraguan atau ragu, para filsuf Yunani kuno (Filsafat Yunani) lambat laun melepaskan diri dari mite-mite sebagai tools dalam menjelaskan fenomena-fenomena dan memungkinkan untuk memahami noumenon atau inti dari fenomena.

Dalam buku Harun Hadiwijono seperti yang dikutip Gerrit Singgih,science sebab dalam benak kita semua hal tersebut pasti bersebrangan dengan agama. Ya tetapi tidak. Ya karena filsafat Baratpun bertumbuh dari konteks agama. Tidak, karena Harun Hadiwijono membedakan Filsafat Barat dan Filsafat Timur. Bagi dia, Filsafat Timur akrab dengan agama dan Filsafat Barat tidakakrab dengan agama. dunia filsafat bertumbuh dari konteks agama. Mungkin pemikiran Harun Hadiwijono ini bertentangan dengan statement di atas bahwa filsafat Barat merupakan cikal bakal Ketidakakraban Filsafat Barat dengan agama membuat sebagian orang berasumsi negative bahwa “filsafat itu menyesatkan, kafir, dan bahkan tak ber-Tuhan.”

Dari kedua filsafat ini, Filsafat Barat lalu disebut-sebut (seperti di atas) sebagai awal mula science. Bagaimana dengan Filsafat Timur? Filsafat Timur lebih dipahami sebagai falsafah atau pandangan hidup.

Arah Filsafat Timur condong pada “segala sesuatu yang ada dibelakang” artnya lebih bersifat monistik, impersonal (berbeda dengan personal) bahkan panteistik. Hal ini memungkinkan untuk kita memahami atau menginterpretasikannya sebagai Filsafat alam yang tidak memerlukan Yang Ilahi.

Gerrit Singgih, Filsafat Barat dan Teologi: Tinjauan Historis Mengenai Pengaruh Plato dan Aristoteles Terhadap Teologi Protestan dan Katolik” dalam Jurnal Teologi Persetia, No. 1, 2002, hlm. 49.
Dapat membandingkannya dengan tulisan dari Stephen Palmquis, The tree of Philosophy.
Palmquis, pada bagian demitologisasi filsafat.
Harun Hadiwino, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm. 15
Noh, Boiliu, Pengantar Filsafat Ilmu, diktat, 2009
Singgih, journal teologi, hlm. 5
Hadiwijono dalam Singgih, Op.Cit
Singgih, Op. Cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar