Kamis, 15 Oktober 2009

Heterogenitas Religiositas

Pluralisme muncul sebagai suatu bentuk perubahan baik perubahan budaya maupun paradigma. C.A. van Peursen dalam bukunya “Strategi Kebudayaan” mencatat tiga tahap perubahan, yakni alam pikiran mitis, ontologis dan fungsionil. Ketiga tahap ini dalam sudut pandang filsafat (budaya) memberi kontribusi pemikiran dan perenungan sebagai jalan ke pluralisme dan pluralitas agama.
Di alam pikiran mitis, manusia menyusun suatu strategi, mengatur hubungan hubungan antara daya-daya kekuatan alam dan manusia. Sebab mitos memainkan peran penting dalam masyarakat primitif dan berfungsi untuk “menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan gaib, membantu manusia menghayati daya-daya tersebut sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai sukunya.” Artinya mitos menampakan kekuatan-kekuatan, menjamin kekinian dan memberi pengetahuan tentang dunia dan memberi weltanschauung. Prinsipnya adalah “ada sesuatu” yang mana dapat di “raba” melalui lambang-lambang yang oleh M. Eliade, lambang (pohon kehidupan, air tirta, topeng, dll) mengarah ke kekuatan yang ada di atas atau transenden sehingga “sesuatu” itu menimbulkan rasa hormat dan rasa takut penuh kegentaran. Mitos tidak berfungsi untuk memberi informasi.
Dari alam pikiran mitis yang ditandai dengan rasa takut terhadap daya-daya yang manusia belum mengambil distansi terhadap segala sesuatu. Peralihan dari mitis ke ontologis ditandai dengan pengambilan distansi terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Dengan pengambilan distansi, manusia keluar dari kungkungan mitos dan mempertanyakan keberadaan “daya-daya” yang menggerakan manusia dan alam, tujuannya adalah untuk mengerti.
Tradisi Yunani klasik (kuno) peralihan dari mitis ke ontologis sangat penting, di mulia dari ketertakjuban akan alama raya (para filsuf alam) yang mencari arkhe dari setiap realits dan peralihan tersebut mempengaruhi masyarakat dalam wadah ilmu pengetahua, baik Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, Plato, misalnya dengan konsep filosofis “ide-ide”.
Di kemudian hari di dunia Barat (Eropa) kembali mempertanyakan hakekat segala sesuatu, yakni pertanyaan tentang “Ada-nya”, tak pelak Ada-nya Tuhan pun dipertanyakan, apakah monis ataukah pluralis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai jalan untuk meretas pengetahuan tentang Ada-nya Tuhan.
Alam “pikir” ontologis merupakan suatu bentuk titik terang di mana manusia mencoba mengurai “mitis” yang oleh Max Mueller di sebut “bayangan gelap” dalam konteks bahasa kebudayaan. Manusia tidak hanya hendak mengetahuai tentang “Ada” sesuatu melainkan sesuatu itu dipertanyakan, yakni “apa”nya para dewa yang menyangkut kodrat dan keberadaan para dewa. Pertanyan tentang “apa”nya para dewa bukan dalam segi “arogansi” manusia melainkan pertanyaan yang disertai rasa hormat. Van Peursen lalu menegaskan bahwa “hakekat kodrat para dewa disimpulkan melalui jalan argumentasi, sambil terus memeras otak dan ilmu ini pada jaman klasik pun dinamakan theologia”. Dengan mempersoalkan “apa”nya merupakan hal metafisis yang problematik. Sekali lagi van Peursen mengingatkan bahwa dalam mempersoalkan hakekat atau apa-nya para dewa, telah menimbulkan:
...teori-teori theologis yang berbelit-belit. Istilah-istilah yang dipergunakan jelas menonjolkan apa-nya, misalnya “kodrat” (dalam Kristus diri Kristus terdapat dua kodrat) dan “hakekat” (dalam Trinitas terdapat tiga pribadi dalam satu hakekat. Dalam filsafat Tuhan disebut Pengada Tertinggi, yang meliputi segala sesuatu, sebab pertama, dan dasar dunia
Catatan bagi “hal besar” yang hendak dibahas, yakni pluralitas agama (teologia agama-agama) maka hal tersebut masuk dalam ranah filsafat agama dan dan filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan, istilah van Peursen “filsafat Tuhan” memandang Tuhan sebagai Pengada Tertinggi, Causa Prima atau Penggerak yang Tak Tergerakan. Hal ini nantinya lambat laun akan ditemukan sebagai titik sentral dari pluralisme agama – melepas setiap keunikan agama atau sebutan-sebutan, simbol-simbol masing-masing agama (ada reduksi) sehingga hanya memandang pada Sang Pengada Tertinggi.
Kembali pada tiga alam pikir yang sedang dibahas. Kini kita masuk pada tahap fungsionil. Berkaitan dengan istilah ini, van Peursen memang menegaskan bahwa kata ini digunakan khusus untuk kebudayaan modern.
Tahap ontologi merupakan tahap pembebasan dari magi dan tahapan fungsionil membebaskan dari substansialisme – Ada. Aspek dari pemikiran fungsionil adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini. Di tahap mitis, daya-daya adikodrati menjamin suksesnya perbuatan-perbuatan namun di tahap fungsionil hal-hal tersebut tidak dihiraukan. Maka masa kini setiap hal harus dipertanggungjawabkan dan harus memberi manfaat. Baik bidang apa saja termasuk teologi erat kaitannya dengan aspek fngsionil yakni apakah memberi arti atau tidak.
“Dulu kata-kata seperti “Tuhan”, “kepercayaan”, “kesusilaan”, “kebenaran”, “keindahan” tidak perlu lagi dijelaskan; arti dan daya untuk meyakinkan dengan sendirinya sudah terkandung dalam kata-kata tersebut. Kini kepastian-kepastian serupa rupanya lenyap ... isi kata-kata itu perlu dibuktikan nilainya bagi kita, ... lepas dari diri kita sendiri – “apa”nya tidak diutamakan lagi, melainkan caranya bagaimana arti itu lambat laun nampak dalam hidup kita sehati-hari – bagaimana-nya”.

Dalam kaitannya dengan pluralisme agama, pemikiran ini mengetengahkan suatu prinsip bahwa “apa”nya termasuk teologi tidak diutamakan melainkan bagaimana refleksi (teologis) nampak dalam kehidupan sehari-hari. Artinya hal eksklusivitas tidak lagi menjadi hal utama melainkan kehadiran masyarakat (beragama) memberi dampak. Penghalang-penghalang teologis disingkirkan.
Perubahan budaya (antropologi budaya) dimaksud di dalamnya terdapat pula perubahan kepercayaan (antropologi agama). Agama tidak hanya dilihat pada tataran mitisnya, ontologisnya melainkan juga dalam tataran fungsionialnya, yakni bagaimana agama dan penganutnya memberi dampak bagi bumi yang didiami yang seyogyanya sangat plural dalam budaya dan keyakinan.
Tema pluralisme agama muncul seiring dengan problem pluralitas masyarakat dan juga pluralitas kepercayaan atau agama di bumi seperti yang nyatakan dalam buku Satu Bumi Banyak Agama karangan Paul Knitter. Di tingkat pluralitas masyarakat dan dengan berkembangnya masyarakat, maka dalam suatu kelompok masyarkat yang dahulunya “homogen” kini berangsur tidak homogen lagi melainkan “heterogen”. Hal ini disebabkan oleh derasnya arus pasar bebas dan turisme sehingga dalam masyarakat yang heterogen (dari berbagai suku dan ras) maka heterogen pula kepercayaan atau agama. Hal ini ditegaskan oleh Waolfhart Pannenberg dalam “Pluralisme Keagamaan dan Klaim Kebenaran yang Saling Bertentangan” bahwa pluralitas dan pergolakan agama merupakan akibat dari komunikasi modern dan pertukaran serta mobilitas antar-budayadan terjadinya perubahan budaya atau culture change yang mana perubahan itu tidak terjadi secara mendadak dan siknifikan melainkan perlahan dan siknifikan.
Pluralitas atau kemajemukan agama merupakan faktor muncul pluralisme meski tidak menafik kenyataannya dalam alkitab. Fakta tentang keberagaman agama dan kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun juga. Dan secara otomatis tiap-tiap agamapun akan bersentuhan dengan agama-agama yang lain. Hans Kung seorang teolog katolik yang radikal dalam tulisan Pinnock mengemukakan,”Untuk pertama kali dalam sejarah dunia adalah sesuatu yang mustahil bagi satu agama untuk eksis dalam isolasi yang sangat baik dan mengabaikan yang lain.” Kesadaran akan kemajemukan itu tidak hanya sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih luas. Maka tak terhindarkan lagi seruan-seruan untuk dialog dan membuka hubungan yang lebih luas mulai diperdengungkan.
Di Indonesia, secara defakto baik dalam tingkat masyarakat kecil (keluarga) maupun pada tingkat masyarakat luas, realitas fenomena pluralitas agama mudah ditemui. Contohnya, di salah satu gereja di daerah Kabupaten Grobogan – Jawa Tengah, terdapat sebuah keluarga yang berbeda-beda keyakinan (agama) dapat hidup berdampingan. Ayahnya berkeyakinan Muslim yang soleh sedangkan anaknya berkeyakinan Nasrani; di Jakarta, rekan saya, ayah dan ibunya berkeyakinan Kong Hu Cu sedangkan anaknya berkeyakinan Nasrani namun hidup berdampingan.
Dari kedua contoh di atas, memang mereka hidup bersama dalam perbedaan. Namun masing-masing tetapi berada pada posisi klaim keabsolutan, ke-eksklusivan maupun kefinalitas Tuhan dalam keyakinan masing-masing.
Berkaitan dengan heterogenitas keyakinan tadi, klaim keabsolutan, ke-eksklusivan maupun kefinalitas Tuhan dalam keyakinan masing-masing memang di satu sisi ”sungguh indah sekali” karena dalam satu keluarga dapat hidup rukun dalam kepelbagaian keyakinan” namun tidak menutup kemungkinan munculnya konflik atau ”percikan-percikan api” sehubungan dengan heterogenitas keyakinan tadi. Bahkan mungkin tidak dalam tingkat keluarga melainkan tingkat masyarakat luas.
Klaim-klaim terkadang mengarah pada sikap radikalisme yang mana mudah digerakan dan melahirkan perang saudara yang bernuansa agama dan dapat ditunggangi kepentingan-kepentingan politis. Di samping de fakto, secara yuridis, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 menjamin hal memeluk agama (meski tumpul dalam tataran praksis). Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi dasar pemahaman manusia ber-Tuhan dalam keberagaman kepercayaan. Suatu pengakuan adanya Tuhan. Di sini Tuhan sebagai dasar penalaran moral. Maka harus mengiyakan pandangan Drijarkara bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Religi. Sebaliknya menjadi dukungan pengakuan bagi religi yang dipahami tak terpisah dari Tuhan. Dasar yang diletakan di Sila I, bukan dasar yang monis eksklusivistis melainkan plural inklusivistis. Artinya Pancasila menjamin keberadaan masing-masing agama sebagai agama pendatang di luar kepercayaa-kepercayaan primitif.
C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Tentang tema-tema tersebut dapat di baca dari halaman 34-109.
Mitis mengarah pada sifat dari mitos yang berarti cerita yang memberikan perdoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang yang dapat dturunkan melalui metode cerita atau pementasan tari atau wayang.
Ibid, hlm. 36
Ibid
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 661
Van Peursen, ibid
Ibid
Ibid
Ibid
Gavin D’Costa Peny., Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hlm. 167.
Dalam pemahaman Drijarkara, Drijakara memahaminya sebagai potensi ke Religi. Bahkan Pancasila merupakan dukungan bagi Religi. Di celah itulah saya kemudian memahaminya sebagai suatu pengakuan adanya Tuhan.
Noh, Boiliu, Pangantar Filsafat, Diktat, Jakarta: 2008.
Bukan terkebelakang dalam IPTEK melainkan masih melestarikan dan mempertahankan keyakinan-keyakinan tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar