Rabu, 23 September 2009

Refleksi

KASIH: WUJUD JATI DIRI ORANG KRISTEN

Bagi orang Kristen, seruan hidup dalam kasih mungkin sudah menjadi sangat klise. Kekristenan sangat identik dengan kasih. Bagi kita Allah adalah Kasih. Akan tetapi, belakangan ini beberapa peristiwa yang terjadi dalam karya kita, membuat saya banyak berpikir tentang hal “hidup dalam kasih” ini. Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang persoalan ini tiba-tiba kembali datang dan mengurung saya dalam pemikiran-pemikiran yang menggelisahkan. Mengapa saya harus hidup dalam kasih? Ini pertanyaan yang pertama datang kepada saya. Belum selesai merenungkan hal ini, pertanyaan lain sudah datang, hidup dalam kasih yang seperti apa yang harus saya jalani? Teladan kasih seperti apa yang harus saya ikuti? Sampai sejauh mana saya harus mengasihi? Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantui ruang pemikiran saya hari-hari ini.Yohanes 13:34 “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”. 15:17 “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain”.

Jawaban yang pertama kali datang kepada saya adalah firman Yesus ini. Mengasihi bukanlah sebuah pilihan atau anjuran, bagi seorang murid Kristus. Itu adalah perintah yang diberikan oleh Kristus sendiri. Di akhir masa hidupnya di bumi, Yesus Kristus memberikan perintah ini secara eksplisit kepada para murid-Nya, dan perintah ini diteruskan sampai kepada kita hari ini.

Teladan kasih yang diberikan kepada kita juga sudah sangat jelas. Yesus mengatakan bahwa kita harus saling mengasihi seperti Dia mengasihi kita. Bagaimana Dia mengasihi kita? Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13). Dia mengasihi kita sampai akhir, yaitu sampai merelakan nyawa-Nya untuk mati di kayu salib demi kita yang dikasihi-Nya. Seperti itulah kita diperintahkan untuk mengasihi. Sampai sejauh itulah, kita harus mengasihi.

Akan tetapi, kekerasan hati saya membuat saya terus bertanya, tapi kenapa Tuhan? Kenapa Yesus memberikan perintah ini? Kenapa Dia bahkan merangkum semua hukum Allah di dalam dua hal ini: 30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. 31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Mark 12:30-31)

Ya, kenapa mengasihi, dan mengasihi seperti Yesus? Kenapa tidak cukup dengan melakukan ritual-ritual, peraturan-peraturan, dan menaati larangan-larangan Tuhan saja? Kenapa tidak cukup dengan memberikan persembahan-persembahan saja? Kenapa, dan kenapa?

Tidakkah Tuhan tahu bahwa hal mengasihi itu adalah yang tersulit untuk dilakukan, karena manusia pada dasarnya adalah egois dan narsistis? Bukankah Tuhan tahu, bahwa tidak semua orang yang dikasihi akan meresponinya dengan syukur dan sembah, bahkan ada lebih banyak yang setelah dikasihi malah memalingkan wajah dan bahkan meludahi? Bukankah Tuhan tahu, manusia yang lemah dan tidak sempurna ini, lebih mudah membenci dan mencari kesalahan, daripada mengasihi dan memberikan dirinya sebagai korban demi kasih? Kenapa?

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin bagi beberapa orang adalah pertanyaan seorang anak kecil. Akan tetapi, saya tidak bisa menyangkal bahwa pertanyaan-pertanyaan ini sungguh-sungguh menggelisahkan saya. Tuhan memerintahkan saya untuk mengasihi, dan mengasihi seperti Yesus telah mengasihi, tetapi kenapa? Dalam kegelisahan saya, saya menemukan surat Yohanes ini.

7 Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. 8 Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. 9 Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. 10 Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. 11 Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. 12 Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita. (1 Yohanes 4:7-12)
Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita, dan telah mengutus anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Ayat ini berbunyi begitu nyaring di dalam hati saya. Kemudian saya jadi teringat ayat hafalan wajib bagi anak sekolah minggu di zaman saya, Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3:16)

Saya harus mengasihi, bukan karena semua orang pantas dikasihi oleh saya. Saya harus mengasihi bukan karena semua orang akan menerima dan bersyukur terhadap kasih yang akan saya berikan. Saya harus mengasihi bukan karena saya akan mendapat pujian dan kemuliaan karena kasih yang saya berikan. Saya harus mengasihi semata-mata karena saya sendiri sebenarnya tidak pantas untuk dikasihi, namun telah dikasihi lebih dulu oleh Allah, dengan kasih yang melampaui segala akal manusia untuk memahaminya, kasih yang memberikan anak tunggal Allah untuk mati di kayu salib demi saya. Itulah alasan pertama, dan terutama kenapa saya diperintahkan untuk mengasihi.

Mendapat jawaban ini, saya tidak bisa berkata-kata lagi. Siapa saya, sehingga saya pantas mempertanyakan perintah agung Tuhan kepada saya? Betapa lancang dan kurang ajarnya saya, mempertanyakan perintah Tuhan ini. Saya, yang tidak pantas dikasihi ini, telah dikasihi sedemikian rupa oleh Tuhan. Apalagi yang bisa saya lakukan, selain menuruti perintah-Nya?

Anda mungkin tidak sedang bergumul seperti saya. Akan tetapi, jika pertanyaan-pertanyaan seperti tadi datang kepada Anda, ingatlah bahwa Allah telah lebih dahulu mengasihi kita, jauh sebelum kita mengasihi Dia. Allah telah lebih dahulu memberikan Kristus untuk terpaku di kayu salib, jauh sebelum kita bahkan teringat kepada-Nya. Jangan lupakan hal ini juga, oleh karena dosa-dosa kita, kita paling pantas memperoleh hukuman kebinasaan kekal, namun Allah mengasihi kita lebih dulu.

Mari kita hidup dalam kasih. Kasih yang mengasihi tanpa menuntut syarat terlebih dahulu. Kasih yang juga tidak mengharapkan balas dan imbalan dari mereka yang kita kasihi. Kasih yang tidak menunggu untuk mengasihi, tetapi yang aktif mendahului untuk mengasihi. Bukan karena alasan apa-apa, hanya karena kita juga tidak pantas dikasihi, namun telah dikasihi sedemikian rupa oleh Allah yang maha kuasa.

Marilah kita hidup dalam kasih yang seperti ini, supaya dunia melihat Allah yang telah mengasihi dunia dan yang telah datang dan mati di kayu salib bagi dunia. Jangan heran dan terkejut dengan respon yang diberikan, tetapi tetaplah mengasihi. Bahkan ketika yang kita kasihi memalingkan wajahnya dari kita, meludahi bahkan melempari kita dengan batu. Mari tetap hidup dalam kasih. Mengasihi adalah jalan yang ditentukan Allah bagi kita. Tidak ada jalan lain, karena Allah sendiri telah datang kepada kita, hanya melalui jalan itu. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar