Rabu, 22 Juli 2009

Refleksi

MENYELAMI MUTIARA DALAM LIMBAH
KILAS BALIK TPA BANTER GEBANG SENTU BEKASI

Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Namun lekukan pegunungan berlapis-lapis hijau dan coklat di depan mata hampir mengecoh mata. Ternyata itu adalah gundukan-gundukan sampah yang diangkut dari seluruh pelosok Jakarta. Tidak pernah terbayangkan, sisi lain kehidupan kota Jakarta yang penuh kemewahan. Rumah-rumah mewah dan perkantoran menghiasi kiri-kanan jalan menambah semarak Kota. Pohon-pohon yang sengaja ditanam juga turut mempercantik jalanan Kota yang dipenuhi antrian mobil. Gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh, seolah memamerkan kemegahannya kepada setiap pendatang baru yang terpesona menatapnya, atau kalau bisa disebut angkuh. Mungkin itulah sebutan yang pantas dipersonifikasikan kepada Ibu Kota Negara Indonesia ini. Wajar saja. Sebagai Ibu Kota Negara Republik ini memang harusnya begitu. Tetapi ketika memasuki daerah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang - Bekasi sekitar 60 Km dari Ibukota, keraguan akan kewajaran itu mulai muncul.
Hati tertegun menyaksikan kehidupan masyarakat Bekasi yang bermukim di kompleks TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Di tempat inilah semua limbah dari seluruh pelosok Jakarta dibuang. Lebih ironis lagi, jika disaksikan kehidupan warga penghuni pemukiman kumuh di desa Taman Rahayu, Kampung Serang Kecamatan Sentu. Kehidupan mereka memprihatinkan namun juga mengagumkan. Bagaimana tidak, tempat yang bagi sebagian besar orang adalah ”neraka” menjijikkan namun bagi warga setempat adalah ”surga”, yang perlu dipertahankan. Sampah yang bagi sebagian orang adalah barang yang tidak berguna dan pantas dibuang, tetapi bagi mereka adalah berlian yang sangat bernilai. Di sana mereka menaruh harapan akan kebahagiaan di masa depan. Di sana mereka mengukir cita dan cinta. Di sana pula mereka membangun citra sebagai insan yang tangguh dan tak kenal lelah. Selama 20 tahun lebih TPA Bantar Gebang dioperasikan, warga desa mengaku belum pernah menikmati dana pemberdayaan masyarakat yang berasal dari pembagian hasil pungutan sampah.
Mobil pengangkut sampah nampak mulai hilir mudik keluar masuk pintu gerbang masuk ke area TPA untuk menghantarkan sampah ke tempatnya. Sepanjang perlintasan masuk sampai menempuh jarak 2 Km dari Pos masuk, terlihat jelas tumpukan tanah dari bekas timbunan sampah yang sudah meninggi dan menggunung bertahun-tahun. Sepintas, orang akan berpikir itu barisan perbukitan yang telah tertata, ternyata persepsi itu salah, hanya tumpukan sampah yang sudah menjadi tanah dan ditumbuhi rumput-rumput liar. Semakin jauh menelusuri area, di balik perbukitan, nampak pemukiman kumuh penduduk, yang kesehariannya dihabiskan dengan memulung sampah. Itulah sumber kehidupan mereka. Walau bau busuk yang sangat menyengat terus-menerus tercium ketika mobil memasuki pemukiman penduduk Desa Taman Rahayu, Kampung Serang Kecamatan Sentu.
Selintas muncul pertanyaan di benak, bagaimana mereka dapat bertahan di tengah-tengah situasi yang bengitu menyengat yang diiringi dengan lalat-lalat besar yang terbang dengan bebasnya? Begitu kuatnya mereka menghadapi semua ini. Itu kalimat yang terungkap.

Mengais Rejeki
Awalnya, tempat pembuangan sampah di kampung tersebut masih tertata dengan baik, namun kini tidak lagi. Ada sekitar 300 orang pemulung yang berdomisili di RT ini dan dari segi angka kematian setiap tahunnya bertambah dan penyababnya diakibatkan oleh penyakit asma, gatal-gatal dan diare.
Bau sampah tetap menyengat di hidung, tampak seorang bapak dengan asyiknya memilah-milah sampah yang terkumpul. Pa Mamat namanya, tubuhnya kumal dan wajahnya tampak kelelahan. Usianya sekitar 45 tahun. Lalat-lalat hijau berterbangan mengerumuninya. Namun bapak itu tidak merasa aktivitasnya terganggu dengan kerumunan dan suara sang pengganggu yang menghinggapinya. Bagaikan sudah akrab dengan sentuhan dan suaranya yang bising, bagaikan penghantar lagu untuk sahabat. Pa Mamat dengan tekun melakukan kegiatannya memilih-milih sampah yang layak dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian rumah tangganya. Walau hanya berpenghasilan lima ratus ribu rupiah perbulan, ayah dua anak ini tetap sabar menekuni kegiatannya. Pekerjaan ini bagaikan suatu anugerah dalam hidupnya.
Di daerah ini tegak beberapa rumah parmanen, namun di sekitar rumah itu sampah-sampah berserakan di mana-mana. Terlihat juga di sebelah kiri-kanan dan belakang rumah beton itu berdiri hunian para pemulung yang sangat tidak asri dan jauh dari layak. Tampak lalat terbang dan hinggap di atas sampah-sampah kotor yang bertebaran di dalam sebuah gubuk berukuran 2x2,5m.
Di dalam sebuah gubuk reot yang terbuat dari karton, duduk seorang perempuan berusia 25 tahun. Nisah demikian namanya kerab dipanggil. Ibu seorang putri yang bersama suaminya datang dari Kerawang sedang sibuk memilah-milah sampah plastik sesuai jenisnya. Ibu muda ini salah satu keluarga penghuni hunian yang tak bersahaja itu. Walau penghasilannya sekitar dua juta perbulannya, ibu ini mengaku masih kesulitan dengan meningkatnya harga kebutuhan hidup sehari-hari. Hal senada juga diakui oleh Pa Karya. Bapak dua anak ini mengaku sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun anak-anak kini sudah bersekolah gratis sesuai dengan program pemerintah dan adanya keringanan berobat di Klinik, namun kebutuhan hidup semakin melonjak.
Menyelami Mutiara Dalam Limbah
Bagi banyak orang, sampah tidak memiliki nilai apa-apa, apalagi barang-barang yang sudah tidak berguna tersebut sudah membusuk dan menimbulkan bau yang tidak sedap bagi penciuman, pasti sangat menjijikkan. Tapi bagi para pemulung yang tinggal di area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang mereka malah menjadikan sampah-sampah yang sudah membusuk sebagai sumber rejeki tempat mereka menggantungkan hidup. Kotor dan berbau busuk, lalat-lalat hijau seakan tak mereka pedulikan demi mempertahankan hidup. Itulah gambaran kehidupan warga yang tinggal di sekitar TPA Bantar Gebang. Di tengah tekanan kesulitan ekonomi yang semakin menjadi-jadi, ternyata mereka tidak kehabisan akal dan hilang harap. Barang rongsokan yang sudah berbaupun ternyata dapat menjadi salah satu sumber pencaharian bagi mereka. Limbah-limbah rumah tangga yang sudah dianggap tidak ada manfaat karena telah membusuk ternyata menjadi butiran-butiran mutiara yang berharga bagi para pemulung.
Mungkin hal ini susah untuk kita pahami, namun itulah sebenarnya keajaiban besar yang Tuhan buat. Lewat peristiwa tersebut Tuhan sebenarnya ingin memperlihatkan kasih dan kuasa-Nya bahwa Ia sanggup melakukan apa saja, bahkan yang menurut manusia tidak mungkin sekalipun akan dibuat-Nya menjadi mungkin. Jika kita hanya memikirkan dengan menggunakan akal semata, tentulah sangat sulit untuk dipahami dan dimengerti. Bayangkan saja, hanya dengan mengais-ngais tumpukan sampah yang sudah membusuk dan dikerumuni lalat yang menjijikkan, para pemulung dan pekerja di TPA Bantar Gebang mempertahankan hidupnya, keluarga bahkan dapat menyekolahkan anak-anak mereka, walaupun hanya sebatas SD atau SMP saja. Pernahkah ada atau terlintas dipikiran kita bahwa kantong-kantong kresek, gelas-gelas aqua bekas yang sudah tidak terpakai dan dibuang bercampur dengan sisa-sisa makanan yang sudah membusuk, berair yang sudah ditumpuk bertahun-tahun dapat menjanjikan suatu kehidupan atau mutiara yang berharga bagi manusia?
Bila direnungkan bagaimana para pemulung bisa hidup di tengah-tengah lautan sampah, yang dari segi kesehatan dinilai sangat-sangat tidak memenuhi standar sebagai tempat tinggal, kita akan menemukan suatu jawaban atas janji Tuhan bahwa ”Tuhan tidak akan meninggalkan kita, dalam situasi apapun kasih-Nya akan selalu Ia nyatakan”. Sebagaimana kesaksian para pemulung bahwa mereka hampir tidak pernah sakit meskipun berada di lingkungan seperti itu. Kenyataan ini sungguh menarik untuk kita, sehingga kita dapat mensyukuri hidup yang Ia anugerahkan dengan bekerja keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar