Senin, 02 Agustus 2010

DEMONSTRASI SEBAGAI SUATU REALITAS SOSIAL INDONESIA
DI ERA REFORMASI



“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu). Semboyan tersebut sudah sering kali kita dengarkan di telinga kita. Semboyan ini merupakan dikumandangkan pada perjuangan Indosenia dalam merebut kemerdekaan. Dan tanpa terasa, kini bangsa Indonesia telah memasuki 65 tahun kemerdekaannya yang ditandai dengan era reformasi. Namun semuanya itu tidak lepas dari munculnya perdebatan-perdebatan yang memicu demonstrasi, kekerasan dan ketidak adilan sosial dalam kehidupan realitas masyarakat Indosenia.

Ketidak Adilan dan Ketidak Puasan sebagai Awal Demonstrasi

Indonesia telah merdeka dari penjajahan, namun sebagai gantinya muncul berbagai tragedi berdarah dan kekejaman yang telah mencoreng dan memburamkan lembaran sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Rasa persaudaraan sebangsa dan rasa saling percaya yang dulu ada hampir kandas dari hati sanubari. Keramah-tamahan, keakraban dan persatuan bukan lagi menjadi suatu yang ikhlas dan wajar, tetapi semuanya telah diukur dengan ukuran apa untungnya dan apa ruginya. Kita kini hidup dalam hiruk pikuk kepausan hingga mengabsahkan kebuasan. Buas terhadap sesama dan buas terhadap alam ciptaan Tuhan.

Sepertinya para penguasa telah terbiasa memoles realitas sosial. Jumlah korban diminimalisasi sedemikian rupa dan jumlah keberhasilan yang mereka capai dipublikasikan hingga “langit ketujuh”. Bangsa Indonesia sudah terlalu lama dibius oleh prinsip-prinsip “kedamaian yang ditututp-tutupi dengan rapi” di bawah janji muluk penuh tipu muslihat seperti toleransi, kepentingan umum, persatuan dan kesatuan bangsa, pembangunan nasional hanya untuk menutupi ketidak adilan sebagai faktor utama keresahan dan kerusuhan dan perang antar politik orang-orang pintar.

Kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mementingkan diri sendiri menjadi suatu hak yang lumrah dan wajar tanpa memandang kesekeliling; sehingga si kaya menjadi kaya, simiskin menjadi miskin, dan yang lemah menjadi tidak berdaya. Kehidupan masyarakat semakin kacau, kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, sehingga menimbulkan demonstrasi tanpa memandang lapisan untuk menuntut keadilan. Tidak adanya keseimbangan pembangunan antar daerah, memicu banyak daerah ingin melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian apakah semboyan diatas masih perlu dipertahankan atau dibuang begitu saja?

Ketidak adilan sering diserukan sebagai faktor pendukung demonstrasi dan reformasi. Ketidak adilan dalam segala sendi kehidupan disebabkan oleh supermasi hukum yang diinjak-injak. Hukum dijalankan tidak dengan semestinya. Hukum diberlakukan dengan dengan tidak adil, hukum dilecehkan, hukum dipakai untuk menindas rakyat. Hukum dapat dibeli dengan jabatan dan kekuasaan. Kondisi yang demikian semakin berlarut-larut dan mengakibatkan hati dan perasaan rakyat semakin panas, hal ini diperkuat dengan datangnya krisis yang berkepanjangan. Keadaan ekonomi yang semakin sulit semakin mudah meminta daerah memisahkan diri dari NKRI, tiada lagi rasa memiliki, yang ada hanya demonstrasi menuntut keadilan dan hak yang diabaikan.

Jelas sekali bahwa persaingan tidak sehat sangat dekat dengan kekerasan. Ketika persaingan lebih mengemuka dalam kehidupan, disitu kekerasan sedang dibiarkan yang pada gilirannya bertumbuh subur menjadi peperangan tak berperikemanusiaan. Kini masyarakat kita menanti-nantikan kesejahteraan, tapi yang hanya adalah kesengsaraan dan kemelaratan. Kesejahteraan dan keadilan yang diharapkan dari orang-orang yang berkuasa hanya sebagai pemanis kata dan tinggal impian. Rakyat merana, bosan dan yang muncul hanyalah demonstrasi sebagai aksi atas keadilan dan kesejahteraan yang tertunda.

Demonstrasi Sebagai Jawaban?

Pada saat ini demonstrasi dipandang dan diyakini sebagai satu-satunya cara efektif dalam mewujudkan aspirasi rakyat. Kendati aksi demonstrasi itu dinilai tidak lagi eksklusif di kalangan mahasiswa dan kampus, namun harus diakui sudah merembes ke tingkat politik lokal seperti di kawasan pedesaan, kecamatan maupun tingkat pemerintahan daerah lainnya. Penolakan terhadap pilkades, tuntutan terhadap perlu mundurnya para kepala desa, camat atau bupati merupakan bukti ekspansi tren demonstrasi di kalangan masyarakat.

Ada tiga prakondisi (awal) dasar kenapa demonstrasi muncul sebagai primadona dalam penyelesaian masalah sosial dan pemerintahan. Pertama, ketidak-sensitifan para pemegang kekuasaan, administrator dan birokrasi dalam merespon aspirasi serta opini masyarakat. Mereka yang sudah duduk dalam kekuasaan justru berpikir merekalah sesungguhnya yang lebih mengetahui keinginan rakyat. Mereka memandang pendapat masyarakat hanya sekadar asesoris belaka tanpa perlu dipertimbangkan secara matang. Akibat lebih lanjut dari ketidak-sensitifan ini adalah munculnya perilaku arogansi (perdebatan) kekuasaan yang berlebihan. Kedua, masyarakat terlalu lama hidup dalam ketertekanan utamanya dari segi konteks politik. Masyarakat tidak lagi mempunyai saluran komunikasi yang efektif untuk merealisasikan harapan dan tujuan mereka bersama. Ketiga, mentalitas aparatur yang berdasarkan pada pembenaran patron-client relationships (kerjasama antara penguasa-rakyat) menyebabkan rakyat powerless (tak berdaya). Selama ini clients (rakyat) harus tunduk kepada patron (penguasa). Ketaatan ini tidak dilandasi oleh beneficial relations (kerjasama yang baik), tetapi sebaliknya justru bersifat eksploitatif.

Contoh berbagai kasus yang terjadi selama Orde Baru dan tampaknya sekarang masih berlanjut adalah implementasi kebijakan khususnya di bidang perekonomian yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Akibatnya, jika beberapa aktor ekonomi nasional ini collapse (runtuh), maka berdampak pada ambruknya sistem tata ekonomi seperti yang terjadi saat ini. Singkatnya, demonstrasi muncul sebagai luapan emosi banyak orang yang terlalu lama terpendam dan tidak mempunyai sarana efektif untuk menyalurkan permasalahannya.

Munculnya sikap masyarakat untuk tidak mau berdialog, dan lebih berpreferensi melakukan demonstrasi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, dialog selama ini hanya dijadikan sekadar wacana formal saja. Dialog akan berakhir sebagai dialog semata dan tidak ada tindak lanjutnya. Gus Dur menyebutnya sebagai terlalu banyak pidato dan tidak ada action-nya. Ini sebagai pantulan dari arogansi kekuasaan yang selama bertahun-tahun dialami oleh rakyat Indonesia.
Kedua, kepercayaan terhadap hukum sedang menurun dengan drastis. Ini karena 'law enforcement' tidak didasarkan pada fondasi hukum sebagaimana mestinya. Bahkan dengan perasaan kesal, jengkel dan campur menyesal. Reformasi hukum yang semestinya berjalan ternyata tidak terjadi bahkan praktik-praktik masa rezim Orde Baru masih berlangsung saat ini.

Ketiga, birokrasi yang lamban semakin memperkeruh suasana dan mendorong munculnya demonstrasi serta aksi-aksi lainnya. Birokrasi yang tidak lagi responsif, lamban, kaku, dan tidak adaptif memberikan suasana yang kondusif untuk munculnya ketidakpuasan-ketidakpuasan yang disalurkan lewat aksi demonstrasi.

Jadi tawaran dialog hanya akan berlangsung dan responsif kalau para pihak yang berdialog yakin dan percaya bahwa apa yang dibahas dan didialogkan itu akan ditindaklanjuti. Tetapi jika dialog hanya semata-mata wacana formal untuk melanggengkan tujuan dan mission penguasa semata, maka mustahil dialog menjadi wahana komunikasi yang efektif. Akhirnya, pilihan demonstrasilah yang diyakini sebagai jalan satu-satunya dalam menyelesaikan dan menjawab problema-problema yang ada.

Suatu refleksi menuju perubahan

Dalam keadaan ini, semua pihak terkait; pemerintah dan masyarakat, harus terlibat dan ambil bagian dalam peneyelesaian masalah diatas. Dalam hal ini yang diperlukan adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai agar serasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah bergeser dari prinsipnya.

Keperdulian pemerintah terhadap masyarakat, keadilan sosial dan pemerataan pembangunan adalah hal yang paling utama dan paling pokok dalam permasalahan ini. Perubahan dan perbaikan itu dapat terwujud jika pemerintah dan masyarakat merenungkan dan benar-benar kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Yang perlu diingat adalah bahwa masyarakat Inonesia adalah masyarakat yang berbudaya, cinta akan kedamaian dan persatuan seperti yang terkandung dalam pengamalan Pancasila..

Dengan perenungan pribadi, mengenal diri dan berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan kedepan atas tujuan bersama merupakan langkah awal menuju perubahan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan perenungan, komitmen dan perubahan atas keegoan pribadi maka kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan dapat dimulai dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar