Rabu, 28 Oktober 2009

Konsultasi Naposobulung HKBP 2009 Resmi Dibuka

Kepala Departemen Koinonia, Pdt. Dr. Jamilin Sirait membuka secara resmi Konsultasi Naposobulung HKBP (NHKBP) II tahun 2009, Senin (27/10). Konsultasi NHKBP II kali ini menagmbil tema “Called To Be One Faithful In Chirst In The Plural World”. Nats yang mendasari tema ini adalah Yoh. 17:21 dan 1 Tim 4:12.


Hadir juga dalam acara pembukaan ini wakil bupati Taput bapak Bangkit Silaban dan dua orang utusan UEM Jerman. Sedangkan Ms. Karolina Rumbiak tampak hadir mewakili lembaga UEM perwakilan Indonesia. Peserta Konsultasi NHKBP ini sendiri adalah para NHKBP perwakilan dari tiap distrik yang diutus oleh praeses dan pengurus NHKBP distrik sebanyak 7 orang, ditambah kabid koinonia dari tiap distrik. Diasumsikan, kabid koinonia yang turut serta dalam pertemuan pemuda ini akan menambah daya juang peserta untuk menindaklanjuti hasil konsultasi tersebut di distrik masing-masing. Sampai tgl. 27 Oktober malam, tercatat sudah ada 112 peserta yang terdaftar mengikuti acara konsultasi ini.

Dalam kata sambutannya, Pdt. Dr. Jamilin Sirait meminta kepada seluruh peserta yang hadir untuk benar-benar berkonsentrasi dari hari pertama hingga terakhir untuk menelurkan sesuatu yang bisa mengembangkan NHKBP di tiap distrik dan resort. Beliau juga menekankan agar pertemuan ini tidak hanya dilakukan secara terpusat, namun tiap peserta dapat mengembangkannya di tiap distrik dan resort masing-masing agar segala keputusan dapat lebih efektif dijalankan.

Sedangkan kepada para tamu, amang Pdt. Sirait meminta agar bersedia memberikan perhatian kepada NHKBP yang memang belakangan ini banyak menghadapi tantangan, baik tantangan global maupun tantangan intern NHKBP sendiri. Terkhusus kepada UEM Jerman, Bapak Sirait meminta agar kegiatan pertukaran pemuda gereja antar negara kembali dihidupkan dan NHKBP akan dengan senang hati mengikutinya.

Setetah dibuka secara resmi, hari pertama konsultasi pemuda ini juga diisi dengan ceramah dari narasumber-narasumber yang sudah dipilih panitia secara selektif berdasarkan keahlian mereka di bidangnya masing-masing. Sedangkan yang menjadi moderator, dipilih dari para peserta Konsultasi NHKBP 2009

Selasa, 27 Oktober 2009

Ayat Alkitab

Yosua 1:6-9
Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke mana pun engkau pergi. Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung. Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi."

Senin, 26 Oktober 2009

Mengucap Syukur ketika Bangkrut…

Filipi 4 : 4 – 7
4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan:
Bersukacitalah!
4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah
dekat!
4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi
nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa
dan permohonan dengan ucapan syukur.
4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan
memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus..
Seorang pendeta diminta untuk memimpin ibadah di rumah seorang pengusaha. Begitu pendetanya tiba, jemaat sudah banyak yang datang dan memenuhi tenda yang dipasang di depan rumah. Meja makan yang memang terlihat dari ruangan ibadah penuh makanan. Pendeta dan juga jemaat disambut dengan senyum yang ramah dari tuan rumah, istri dan anak-anaknya. Pendeta yang sudah cukup lama melayani ini sudah tahu ayat mana yang akan digunakan karena biasanya kalau pengucapan syukur dibuat besar-besaran seperti itu berarti usaha berhasil, pertambahan usia atau sembuh dari sakit parah. Seperti biasa, pendeta akan mendapat pokok doa untuk dibawakan dalam doa syafaat. Di pokok doa itu hanya ada sebaris kalimat: bersyukur untuk pemeliharaan Tuhan dalam usaha yang sedang bangkrut. Akhirnya pendeta kembali membuka alkitab untuk mencari ayat yang tepat untuk ibadah pengucapan syukur atas pemeliharaan Tuhan ketika usaha bangkrut.
Mungkin kisah seperti ini hampir tidak mungkin menjadi kenyataan. Biasanya lebih mudah untuk menghibur orang lain ketika kita sedang tidak ada masalah dan lebih mudah untuk membuat orang lain tertawa ketika hati kita sedang senang. Sebaliknya jika sedang sedih atau banyak masalah kita akan sangat menginginkan untuk dihibur dan dikuatkan bahkan cenderung menutup diri.
Jemaat Filipi cukup beruntung karena mereka diperkaya dengan kisah Paulus yang saat dalam penjara ia justru menulis surat dan meminta jemaat itu untuk bersukacita di dalam Tuhan. Permintaan ini seperti ini tentunya membuat jemaat heran karena yang bisa mereka bayangkan adalah Paulus meminta mereka mendoakan dia, Paulus meminta mereka untuk mendukung dia dalam pencobaannya. Tetapi yang mereka terima justru ajakan untuk bersukacita dalam Tuhan dari seorang yang sedang berada dalam penjara dengan akhir hidup yang tidak pasti.
Sebenarnya tidak berlebihan kalau Paulus meminta jemaat untuk melakukan kebaikan dengan mengusahakan dia keluar dari penjara, tetapi yang Paulus minta justru agar jemaat di kota Filipi terus berbuat baik kepada orang lain sehingga semua orang mengetahui kebaikan hati mereka.
Sebenarnya tidak berlebihan juga kalau menyampaikan kekuatirannya untuk diketahui jemaat tetapi justru ia meminta jemaat untuk tidak kuatir mengenai apapun juga melainkan menyampaikan segala hal pada Allah dengan ucapan syukur.
Sebenarnya tidak berlebihan kalau Paulus mengatakan bahwa dia tertekan, bimbang, tidak tenang dengan situasi dalam penjara. Tetapi Paulus justru menyatakan ketika seorang telah menyatu dengan Yesus maka hati dan pikirannya dipelihara dengan damai sejahtera yang tidak dapat dipikir oleh akal.
Bagi Paulus, seorang yang telah menyatu dengan Yesus tidak dapat dibuat kuatir dengan segala persoalan yang dihadapi di dunia ini. Kenapa karena ketika Yesus hidup di dalam diri seseorang maka ia tidak menjadi seperti seseorang kebingungan ketika melihat potongan puzzle di tangannya dan mencoba menebak gambarnya. Melainkan akan menjadi seorang yang yakin bahwa potongan puzzle di tangannya itu pasti bagian dari sebuah gambar yang indah.
Jika setiap orang yakin bahwa rancangan Tuhan dalam hidupnya pasti baik dan indah maka tentunya kita akan mampu menjalani setiap bagian hidup ini dengan tenang. Di tengah tantangan yang saat ini dihadapi, setiap orang yang percaya bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera, tidak akan dilemahkan oleh keadaan. Ketika phk besar-besaran terjadi di mana-mana, ketika lapangan kerja makin sulit dicari dan ketika biaya hidup makin mahal belum lagi biaya pendidikan anak-anak semua keadaan itu tidak akan melemahkan dan membuat orang percaya putus asa. Ketika semua pintu tertutup bagi kita dan kita percaya Tuhan menyediakan satu pintu tak terduga bagi kita maka pintu itu akan kita temukan.
Kita juga ditantang untuk menjadi wadah yang dapat mendukung jemaat dalam mengambil sikap menghadapi keadaan dunia yang semakin banyak kesulitan dan tuntutannya. Kita melangkah bersama Tuhan dan diutus untuk menghadirkan sukacita dalam dunia yang berduka, berbuat baik di tengah dunia yang jahat, menghadirkan keyakinan di tengah dunia yang dipenuhi kekuatiran, menghadirkan damai sejahtera di tengah dunia yang dilanda krisis dan kesulitan.

Minggu, 25 Oktober 2009

HUMOR

Polisi & Paulus

Suatu hari Paus Paulus sedang putar - putar keliling Jakarta. Karena dia kepingin ngerasain nyetir akhirnya dia meminta kepada supir untuk menyetir. Nah di bilangan Kebon Jeruk dia di cegat oleh seorang Polisi. Karena yang ditilang itu Paulus..., sang polisi mengontak Komandannya di Polda Metro Jaya:
Polisi : Halo, selamat siang Dan, saya bingung nih....
Komandan : Kenapa kamu bingung
Polisi : Saya kayaknya lagi nilang orang penting nih Dan....
Komandan : Siapa ? Komandan Polisi Lalu Lintas ?
Polisi : Bukan nDan...., tinggi lagi
Komandan : Kapolda ?
Polisi : Bukan..... tinggi lagi....
Komandan : Gubernur atau Kapolda ?
Polisi : Bukan nDan....
Komandan : Kapolri ?
Polisi : Bukan.....
Komandan : Menteri atau Pangab ?
Polisi : Bukan nDan ini bisa gawat nih nDan....
Komandan : Jangan - jangan Presiden Gus Dur atau Amien Rais ?
Polisi : Bukan nDan wah gawat......
Komandan : Trus siapa ? Apa Presiden USA atau Sekjen PBB ?
Polisi : Nggak tau nDan...., supirnya aja Paus Pulus Yohanes !!!!!!!
Komandan : Hah....., gawat dong kalo gitu

Kamis, 22 Oktober 2009

HANYA JARUM DAN BENANG

Kisah para Rasul 9:36. Di Yope ada seorang murid perempuan bernama Tabita—dalam bahasa Yunani Dorkas. Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah.
Di suatu daerah di Yope, tinggallah seorang perempuan bernama Tabita yang dalam bahasa Yunani disebut Dorkas (artinya rusa). Tabita, wanita yang baik hati dan dermawan. Ia juga dapat disebut pemimpin ”janda-janda”. Tapi apa hendak dikata, Tabita tidak kuasa menghalangi dan mengalahkan maut, ia meninggal karena sakit.
Mendengar berita kematian Tabita, Rasul Petrus yang pada waktu itu sedang melakukan pelayanan di Lida segera ke Yope sebab dekat dengan kota Lida. Sesampainya Rasul Petrus di Lida, di rumah Tabita, ia segera ke tempat di mana Tabita dibaringkan, ia berlutut dan berdoa. Setelah berdoa, Petrus berkata kepada Tabita, Tabita, bangkitlah, lalu Tabit membuka mata dan melihat Petrus.
Dari kisah Tabita dalam Kisah Para Rasul 9:36-43, kita mungkin bertanya mengapa Petrus menganggap kematian Tabita penting baginya? Di ayat 36, kita membaca bahwa Tabita adalah seorang perempuan yang berbuat baik dan dermawan. Ungkapan ini dalam Alkitab versi Bahasa Indonesia Sehari-hari dikatakatan ”Ia selalu saja melakukan hal-hal yang baik (She was full of good works – MKJV) dan menolong orang-orang miskin.
Bukti yang menguatkan bahwa ia adalah seorang perempuan yang baik hati adalah ketika ia meninggal, di mana semua janda-janda datang berdiri dekatnya dan sambil menangis mereka menunjukkan kepadanya semua baju dan pakaian yang dibuat Tabita waktu ia masih hidup. Bagi para wanita yang berstatus janda, apalagi tua, dan tidak memiliki pekerjaan, hal itu menjadi pergumulan tersendiri bagi mereka. Karena itu, tidak berlebihan jika pada hari kematian Tabita, mereka menangis sambil menunjukkan baju dan pakaian sebagai bukti perbuatan baik yang telah dilakukan Tabita.
Di sisi lain, seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 9:36, ia juga memberi sedekah, boleh dikatakan dermawan. Bahkan mungkin ia ikut menyokong pelayanan para rasul Kristus, karena ia adalah seorang murid perempuan, pengikut Kristus. Perbuatan baik Tabita, menjadi catatan tersendiri bagi Petrus untuk tidak menunda kedatangannya, sebab ia berguna dalam pelayanan.
Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus. Tabita telah mengambil bagian dalam dua hal, pertama terlibat dalam pelayanan penyokongan dana bagi pelayanan rasul-rasul. Kedua, menolong para janda-janda. Secara sederhana, mungkin dapat kita katakan, Tabita, meskipun hanya dengan ”jarum dan benang”, telah memberi harapan baru bagi para janda.
Bagaimana dengan kita, Sahabat-sahabat? Talenta apakah yang Yesus percayakan kepada kita? Besar ataukah keci? Banyak ataukah sedikit? Ingatlah, ukuran tidak menjadi soal. Yang harus kita renungkan adalah ”apa yang harus kita perbuat” dengan talenta yang Tuhan berikan kepada kita? Karena itu, jangalah mengecilkan karunia yang ada pada kita. Sekecil apapun, gunakanlah secara bijaksana, maka akan menjadi alat kesaksian bagi banyak orang. Melalui kehidupan Tabita, yang notabene adalah murid Kristus, ia menghidupi kebenaran Kristus dan memancarkan kebenaran Kristus sedemikian rupa sehingga orang lain (janda-janda dan rasul-rasul) melihat perbuatan yang baik. Ia telah menjadi saksi bagi janda-janda. Sudahkah kita menjadi saksi yang baik dari Kristus Yesus?

Selasa, 20 Oktober 2009

Mike Lazaridis, Penemu Blackberry

Success Story
Mike Lazaridis (48 tahun) adalah seorang pengusaha sukses. Pada saat ini, oleh media cetak dan internet, ia dianggap sebagai salah satu orang paling penting dan berpengaruh bagi masyarakat dunia. Alasannya: ia penemu BlackBerry. Bersama dengan berbagai situs jaringan sosial, BlackBerry mampu mengubah pola/kebiasaan komunikasi masyarakat dunia.
BlackBerry adalah perangkat genggam nirkabel (tanpa kabel) yang memiliki kemampuan telepon selular, ditambah fasilitas e-mail, SMS, faksimili, penjelajah internet, kamera, dan lainnya.
BlackBerry - berbekal sistem dan teknologi servernya yang unik,selalu bisa terhubung dengan internet. Jadi, dengan BlackBerrry, Anda bisa berkomunikasi sekaligus menerima/mengirim data dengan mudah...di mana saja!
**
Lazaridis adalah penduduk Waterloo, Kanada. Namun dia lahir di Istanbul, Turki. Lalu, kedua orangtuanya yang berasal dari Yunani membawa Lazaridis ke Kanada saat usianya lima tahun.
Tahun 1966 Lazaridis tinggal di Windsor, Ontario. Bakatnya mulai tampak sejak dia bersekolah di Windsor. Ia menghabiskan banyak waktunya di perpustakaan.
Umur 12 tahun, Lazaridis mendapat penghargaan Windsor Public Library karena telah melahap semua buku ilmu pengetahuan di perpustakaan itu. Di SMA, minatnya terhadap elektronik terfasilitasi karena bertemu dengan guru-guru hebat. Dalam setiap wawancara, dia selalu merujuk pada guru-guru SMA yang dianggapnya sebagai motivator paling baik. Guru-gurunya di sana jugalah, yang memimpikan bergabungnya fungsi perangkat elektronik (seperti telepon genggam), komputer, dan wireless.
Tahun 1979, Lazaridis memutuskan kuliah di Universitas Waterloo jurusan Electrical Engineering bidang ilmu komputer. Saat menjadi mahasiswa, dia mendapat kontrak 500.000 dollar dari General Motors (GM) untuk membangun display kontrol jaringan komputer. Dari dana kontrak dengan GM itu, ditambah pinjaman 15.000 dollar dari orangtuanya, Lazaridis yang masih mahasiswa mendirikan perusahaan bernama Research in Motion (RIM). Dia keluar dari universitas dua bulan sebelum lulus.
RIM bergerak di bidang teknologi barcode untuk film. Lambat laun, RIM merambah ke wireless dan tahun 1999 memperkenalkan BlackBerry.
**

Hal yang patut kita tiru, biarpun sudah sukses, Lazaridis tetap rendah hati dan tidak cepat puas. Ia tetap banyak belajar dan selalu melakukan riset. Maka tidak heran, ia tidak "hanya" menjadi seorang ahli teknologi. Dia juga menguasai manajemen, pemasaran, dan strategi invasi produk ke penjuru dunia! Luar biasa.

Senin, 19 Oktober 2009

Sukses Satu Cara,Gagal Satu Alasan

Dalam setiap episode kehidupan yang kita jalani, pastilah ada masa di mana kita menghadapi berbagai halangan dan rintangan, Besar maupun kecil, ringan maupun berat. Hal tersebut sebenarnya adalah hal yang sangat lumrah terjadi, bahkan dalam setiap perjuangan yang kita lalui, pada saat kita sedang berencana untuk mewujudkan semua impian,jalan terjal pastilah kita lewati. Tak ada satupun hal semudah kita kira, bahkan meskipun semua sudah kita rencanakan dengan sangat sempurna. Hambatan, kesulitan, gangguan, kekeliruan, ketidakberhasilan, bahkan tak sedikit yang berujung pada kegagalan, mau tidak mau harus kita terima.

Lantas harus bagaimanakah kita bersikap dalam menghadapi semua hal tersebut? Hanya ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Dua pilihan yang akan menghasilkan dua hal yang bisa terjadi sangat bertolak belakang.
"Orang Sukses Selalu Kelebihan Satu Cara ,Orang Gagal Selalu Kelebihan Satu Alasan"

Berpikir menjadi Orang Sukses
Orang seperti ini akan selalu memiliki kelebihan satu cara dalam setiap rintangan yang menghadang,"Orang Sukses Selalu Kelebihan Satu Cara".

Berpikir menjadi Orang Gagal
Orang seperti ini akan selalu memiliki kelebihan satu alasan dalam setiap tantangan yang menerjang,"Orang Gagal Selalu Kelebihan Satu Alasan".
Kedua sikap tersebut mempunyai dampak yang sangat berbeda, Sebab, meski mungkin problematika yang di hadapi sama, tetapi penyikapan yang dipilih akan membawa perbedaan dalam bersikap dan bertindak. Perbedaan ini akan terlihat dari sikap mental dalam menghadapi setiap masalah. Bagi yang bermental sebagai pemenang pastilah akan jauh lebih siap dari pada mereka yang bermental miskin.

Mereka yang bermental miskin atau yang berjiwa the looser akan selalu mempunyai dalih dan seribu satu alasan mengapa ia gagal dalam mewujudkan impian. Parahnya dalih itu bisa datang silih berganti seolah tiada habisnya. Satu masalah selalu di sikapi dengan satu atau bahkan lebih alasan tanpa ada solusi yang di tawarkan. Satu problem yang muncul akan di jawab dengan seribu satu alasan yang hanya akan membawa diri pada problem lain yang seolah takkan terselesaikan. Seorang bermental miskin dan berjiwa kerdil akan selalu menemukan alasan mengapa dirinya bisa gagal. Dan parahnya hampir semua dalih yang di kemukakan bahkan dengan alasan yang masuk akal menunjuk pada pihak atau kondisi di luar dirinya.Inilah mental pecundang! Jelas mental seperti ini adalah mental yang akan mengantar seseorang terjerumus ke jurang kegagalan lebih dalam.

Sebaliknya,orang yang berjiwa pemenang dan bermental kaya, saat menghadapi rintangan, halangan bahkan kegagalan, mereka akan melihat kedalam diri terlebih dahulu. Mereka selalu mengutamakan instrospeksi dan evaluasi diri dengan mencari penyebab dari dalam diri. Seseorang yang berjiwa the winner akan menilai segala sesuatu dengan selalu mencari kekurangan dan kesalahan dari sumber penyebab apa yang terjadi. Mereka akan dengan senang hati akan selalu berusaha mencari dan kemudian memperbaiki penyebab tumbuhnya masalah dan kegagalan. Dengan begitu, mereka selalu muncul dengan solusi-solusi terbaik untuk mengatasi semua halangan dan rintangan.Hebatnya orang berjiwa pemenang ini seolah-olah bisa mengatasi semua masalah yang di hadapi, bahkan dalam kondisi apapun. Sebab mereka selalu muncul dengan semangat mencari solusi. Inilah yang membuat orang sukses akan semakin sukses karena ia selalu mempunyai kelebihan satu atau bahkan lebih cara untuk mencapai sukses sebenarnya.

Kedua hal tersebut sejalan dengan pepatah barat yang berbunyi, "The Winner sees answerfor every problem, The loose sees problem in every answer" seorang pemenang selalu melihat jawaban di setiap\masalah. Sedangkan seorang pecundang selalu melihat masalah di setiap jawaban. Tentu, ini adalah sebuah pilihan sikap yang menentukasn akan menjadi bagaimana kita nanti. Jika yang kita biasakan adalah memiliki satu alasan di setiaprintangan,pastilah kita akan semakin tenggelam dalam kesulitanan. Sebaliknya ,jika kita selalu memiliki satu cara untuk mencari solusi di setiap halangan pastilah kita akan muncul sebagai seorang pemenang.

Bagi saya sendiri melalui proses perjuangan yang saya alami, semua itu mengantarkan pada pengertian bahwa sukses sejati sebenarnya adalah akumulasi dari kegagalan-kegagalan yang mampu kita atasi.Setiap halangan, rintangan, ujian dan cobaan berupa kesulitan dan kegagalan sebenarnya merupakan sarana terbaik dalam melatih dan mematangkan mental kita untuk menjadi pemenang sesungguhnya.

Maka, mari kita pastikan bahwa diri kita menjadi insan yang selalu kelebihan satu cara bukan kelebihan satu alasan.

Jumat, 16 Oktober 2009

SUMBANGSIH PLATO DAN ARISTOTELES BAGI TEOLOGI

Tulisan singkat ini saya maksudkan sebagai sebuah tulisan “pembuka pikiran” bagi rekan-rekan mahasiswa program of Campus atau e_learning STT Bethel The Way yang mengambil Mata Kuliah Pengantar Filsafat. Saya menyadari bahwa betapa sulit dan peliknya mempelajari ilmu filsafat. Karena itu tulisan singkat dan sederhana ini membantu rekan-rekan menyelesaikan tugas makalah. Tulisan ini akan dismpaikan secara bertahap.
Pendahuluan

Seyogyanya Filsafat Barat lebih mencirikan hasil otonomi akal atau rasio. Segala sesuatu diselidiki secara mendalam oleh pemikiran manusia. Bahkan menjadi cikal bakal munculnya science. Meskipun Filsafat Barat tidak langsung berada pada fase sekarang ini sebagai ilmu (ilmu filsafat. Disebut ilmu karena filsafat dalam kerangka kerjanya harus menggunakan kerangka kerja science atau metode ilmiah dan harus memiliki objek kajian baik materil maupun formal). Sebut saja Filsafat Yunani. Filsafat Yunani seperti yang dikenal sekarang ini pun berkembang secara evolutif atau filsafat mengalami tahap demitologisasi. Filsafat Yunani dalam sejarahnya, berangkat dari mite-mite. Dengan kata lain para Filsuf Yunani kuno atau biasa disebut juga filsuf alam menggunakan mite-mite dalam lingkup agama sebagai tools. Misalnya Thales – Thales memahami arche alam semesta adalah air – en ‘o hodor (awal mula segala sesuatu adalah air).

Penggunaan mite dalam kerangka tadi paling tidak menjadi dasar munculnya “keyakinan”. Bahwa filsafat merupakan kerja akal atau seperti yang dikatakan Harun Hadiwijono “filsafat dilahirkan karena kemenagan akal atas mite-mite baik tentang agama, asal mula segala sesuatu maupun manusia”. Dengan metode keraguan atau ragu, para filsuf Yunani kuno (Filsafat Yunani) lambat laun melepaskan diri dari mite-mite sebagai tools dalam menjelaskan fenomena-fenomena dan memungkinkan untuk memahami noumenon atau inti dari fenomena.

Dalam buku Harun Hadiwijono seperti yang dikutip Gerrit Singgih,science sebab dalam benak kita semua hal tersebut pasti bersebrangan dengan agama. Ya tetapi tidak. Ya karena filsafat Baratpun bertumbuh dari konteks agama. Tidak, karena Harun Hadiwijono membedakan Filsafat Barat dan Filsafat Timur. Bagi dia, Filsafat Timur akrab dengan agama dan Filsafat Barat tidakakrab dengan agama. dunia filsafat bertumbuh dari konteks agama. Mungkin pemikiran Harun Hadiwijono ini bertentangan dengan statement di atas bahwa filsafat Barat merupakan cikal bakal Ketidakakraban Filsafat Barat dengan agama membuat sebagian orang berasumsi negative bahwa “filsafat itu menyesatkan, kafir, dan bahkan tak ber-Tuhan.”

Dari kedua filsafat ini, Filsafat Barat lalu disebut-sebut (seperti di atas) sebagai awal mula science. Bagaimana dengan Filsafat Timur? Filsafat Timur lebih dipahami sebagai falsafah atau pandangan hidup.

Arah Filsafat Timur condong pada “segala sesuatu yang ada dibelakang” artnya lebih bersifat monistik, impersonal (berbeda dengan personal) bahkan panteistik. Hal ini memungkinkan untuk kita memahami atau menginterpretasikannya sebagai Filsafat alam yang tidak memerlukan Yang Ilahi.

Gerrit Singgih, Filsafat Barat dan Teologi: Tinjauan Historis Mengenai Pengaruh Plato dan Aristoteles Terhadap Teologi Protestan dan Katolik” dalam Jurnal Teologi Persetia, No. 1, 2002, hlm. 49.
Dapat membandingkannya dengan tulisan dari Stephen Palmquis, The tree of Philosophy.
Palmquis, pada bagian demitologisasi filsafat.
Harun Hadiwino, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm. 15
Noh, Boiliu, Pengantar Filsafat Ilmu, diktat, 2009
Singgih, journal teologi, hlm. 5
Hadiwijono dalam Singgih, Op.Cit
Singgih, Op. Cit

Kamis, 15 Oktober 2009

Heterogenitas Religiositas

Pluralisme muncul sebagai suatu bentuk perubahan baik perubahan budaya maupun paradigma. C.A. van Peursen dalam bukunya “Strategi Kebudayaan” mencatat tiga tahap perubahan, yakni alam pikiran mitis, ontologis dan fungsionil. Ketiga tahap ini dalam sudut pandang filsafat (budaya) memberi kontribusi pemikiran dan perenungan sebagai jalan ke pluralisme dan pluralitas agama.
Di alam pikiran mitis, manusia menyusun suatu strategi, mengatur hubungan hubungan antara daya-daya kekuatan alam dan manusia. Sebab mitos memainkan peran penting dalam masyarakat primitif dan berfungsi untuk “menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan gaib, membantu manusia menghayati daya-daya tersebut sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai sukunya.” Artinya mitos menampakan kekuatan-kekuatan, menjamin kekinian dan memberi pengetahuan tentang dunia dan memberi weltanschauung. Prinsipnya adalah “ada sesuatu” yang mana dapat di “raba” melalui lambang-lambang yang oleh M. Eliade, lambang (pohon kehidupan, air tirta, topeng, dll) mengarah ke kekuatan yang ada di atas atau transenden sehingga “sesuatu” itu menimbulkan rasa hormat dan rasa takut penuh kegentaran. Mitos tidak berfungsi untuk memberi informasi.
Dari alam pikiran mitis yang ditandai dengan rasa takut terhadap daya-daya yang manusia belum mengambil distansi terhadap segala sesuatu. Peralihan dari mitis ke ontologis ditandai dengan pengambilan distansi terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Dengan pengambilan distansi, manusia keluar dari kungkungan mitos dan mempertanyakan keberadaan “daya-daya” yang menggerakan manusia dan alam, tujuannya adalah untuk mengerti.
Tradisi Yunani klasik (kuno) peralihan dari mitis ke ontologis sangat penting, di mulia dari ketertakjuban akan alama raya (para filsuf alam) yang mencari arkhe dari setiap realits dan peralihan tersebut mempengaruhi masyarakat dalam wadah ilmu pengetahua, baik Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, Plato, misalnya dengan konsep filosofis “ide-ide”.
Di kemudian hari di dunia Barat (Eropa) kembali mempertanyakan hakekat segala sesuatu, yakni pertanyaan tentang “Ada-nya”, tak pelak Ada-nya Tuhan pun dipertanyakan, apakah monis ataukah pluralis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai jalan untuk meretas pengetahuan tentang Ada-nya Tuhan.
Alam “pikir” ontologis merupakan suatu bentuk titik terang di mana manusia mencoba mengurai “mitis” yang oleh Max Mueller di sebut “bayangan gelap” dalam konteks bahasa kebudayaan. Manusia tidak hanya hendak mengetahuai tentang “Ada” sesuatu melainkan sesuatu itu dipertanyakan, yakni “apa”nya para dewa yang menyangkut kodrat dan keberadaan para dewa. Pertanyan tentang “apa”nya para dewa bukan dalam segi “arogansi” manusia melainkan pertanyaan yang disertai rasa hormat. Van Peursen lalu menegaskan bahwa “hakekat kodrat para dewa disimpulkan melalui jalan argumentasi, sambil terus memeras otak dan ilmu ini pada jaman klasik pun dinamakan theologia”. Dengan mempersoalkan “apa”nya merupakan hal metafisis yang problematik. Sekali lagi van Peursen mengingatkan bahwa dalam mempersoalkan hakekat atau apa-nya para dewa, telah menimbulkan:
...teori-teori theologis yang berbelit-belit. Istilah-istilah yang dipergunakan jelas menonjolkan apa-nya, misalnya “kodrat” (dalam Kristus diri Kristus terdapat dua kodrat) dan “hakekat” (dalam Trinitas terdapat tiga pribadi dalam satu hakekat. Dalam filsafat Tuhan disebut Pengada Tertinggi, yang meliputi segala sesuatu, sebab pertama, dan dasar dunia
Catatan bagi “hal besar” yang hendak dibahas, yakni pluralitas agama (teologia agama-agama) maka hal tersebut masuk dalam ranah filsafat agama dan dan filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan, istilah van Peursen “filsafat Tuhan” memandang Tuhan sebagai Pengada Tertinggi, Causa Prima atau Penggerak yang Tak Tergerakan. Hal ini nantinya lambat laun akan ditemukan sebagai titik sentral dari pluralisme agama – melepas setiap keunikan agama atau sebutan-sebutan, simbol-simbol masing-masing agama (ada reduksi) sehingga hanya memandang pada Sang Pengada Tertinggi.
Kembali pada tiga alam pikir yang sedang dibahas. Kini kita masuk pada tahap fungsionil. Berkaitan dengan istilah ini, van Peursen memang menegaskan bahwa kata ini digunakan khusus untuk kebudayaan modern.
Tahap ontologi merupakan tahap pembebasan dari magi dan tahapan fungsionil membebaskan dari substansialisme – Ada. Aspek dari pemikiran fungsionil adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini. Di tahap mitis, daya-daya adikodrati menjamin suksesnya perbuatan-perbuatan namun di tahap fungsionil hal-hal tersebut tidak dihiraukan. Maka masa kini setiap hal harus dipertanggungjawabkan dan harus memberi manfaat. Baik bidang apa saja termasuk teologi erat kaitannya dengan aspek fngsionil yakni apakah memberi arti atau tidak.
“Dulu kata-kata seperti “Tuhan”, “kepercayaan”, “kesusilaan”, “kebenaran”, “keindahan” tidak perlu lagi dijelaskan; arti dan daya untuk meyakinkan dengan sendirinya sudah terkandung dalam kata-kata tersebut. Kini kepastian-kepastian serupa rupanya lenyap ... isi kata-kata itu perlu dibuktikan nilainya bagi kita, ... lepas dari diri kita sendiri – “apa”nya tidak diutamakan lagi, melainkan caranya bagaimana arti itu lambat laun nampak dalam hidup kita sehati-hari – bagaimana-nya”.

Dalam kaitannya dengan pluralisme agama, pemikiran ini mengetengahkan suatu prinsip bahwa “apa”nya termasuk teologi tidak diutamakan melainkan bagaimana refleksi (teologis) nampak dalam kehidupan sehari-hari. Artinya hal eksklusivitas tidak lagi menjadi hal utama melainkan kehadiran masyarakat (beragama) memberi dampak. Penghalang-penghalang teologis disingkirkan.
Perubahan budaya (antropologi budaya) dimaksud di dalamnya terdapat pula perubahan kepercayaan (antropologi agama). Agama tidak hanya dilihat pada tataran mitisnya, ontologisnya melainkan juga dalam tataran fungsionialnya, yakni bagaimana agama dan penganutnya memberi dampak bagi bumi yang didiami yang seyogyanya sangat plural dalam budaya dan keyakinan.
Tema pluralisme agama muncul seiring dengan problem pluralitas masyarakat dan juga pluralitas kepercayaan atau agama di bumi seperti yang nyatakan dalam buku Satu Bumi Banyak Agama karangan Paul Knitter. Di tingkat pluralitas masyarakat dan dengan berkembangnya masyarakat, maka dalam suatu kelompok masyarkat yang dahulunya “homogen” kini berangsur tidak homogen lagi melainkan “heterogen”. Hal ini disebabkan oleh derasnya arus pasar bebas dan turisme sehingga dalam masyarakat yang heterogen (dari berbagai suku dan ras) maka heterogen pula kepercayaan atau agama. Hal ini ditegaskan oleh Waolfhart Pannenberg dalam “Pluralisme Keagamaan dan Klaim Kebenaran yang Saling Bertentangan” bahwa pluralitas dan pergolakan agama merupakan akibat dari komunikasi modern dan pertukaran serta mobilitas antar-budayadan terjadinya perubahan budaya atau culture change yang mana perubahan itu tidak terjadi secara mendadak dan siknifikan melainkan perlahan dan siknifikan.
Pluralitas atau kemajemukan agama merupakan faktor muncul pluralisme meski tidak menafik kenyataannya dalam alkitab. Fakta tentang keberagaman agama dan kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun juga. Dan secara otomatis tiap-tiap agamapun akan bersentuhan dengan agama-agama yang lain. Hans Kung seorang teolog katolik yang radikal dalam tulisan Pinnock mengemukakan,”Untuk pertama kali dalam sejarah dunia adalah sesuatu yang mustahil bagi satu agama untuk eksis dalam isolasi yang sangat baik dan mengabaikan yang lain.” Kesadaran akan kemajemukan itu tidak hanya sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih luas. Maka tak terhindarkan lagi seruan-seruan untuk dialog dan membuka hubungan yang lebih luas mulai diperdengungkan.
Di Indonesia, secara defakto baik dalam tingkat masyarakat kecil (keluarga) maupun pada tingkat masyarakat luas, realitas fenomena pluralitas agama mudah ditemui. Contohnya, di salah satu gereja di daerah Kabupaten Grobogan – Jawa Tengah, terdapat sebuah keluarga yang berbeda-beda keyakinan (agama) dapat hidup berdampingan. Ayahnya berkeyakinan Muslim yang soleh sedangkan anaknya berkeyakinan Nasrani; di Jakarta, rekan saya, ayah dan ibunya berkeyakinan Kong Hu Cu sedangkan anaknya berkeyakinan Nasrani namun hidup berdampingan.
Dari kedua contoh di atas, memang mereka hidup bersama dalam perbedaan. Namun masing-masing tetapi berada pada posisi klaim keabsolutan, ke-eksklusivan maupun kefinalitas Tuhan dalam keyakinan masing-masing.
Berkaitan dengan heterogenitas keyakinan tadi, klaim keabsolutan, ke-eksklusivan maupun kefinalitas Tuhan dalam keyakinan masing-masing memang di satu sisi ”sungguh indah sekali” karena dalam satu keluarga dapat hidup rukun dalam kepelbagaian keyakinan” namun tidak menutup kemungkinan munculnya konflik atau ”percikan-percikan api” sehubungan dengan heterogenitas keyakinan tadi. Bahkan mungkin tidak dalam tingkat keluarga melainkan tingkat masyarakat luas.
Klaim-klaim terkadang mengarah pada sikap radikalisme yang mana mudah digerakan dan melahirkan perang saudara yang bernuansa agama dan dapat ditunggangi kepentingan-kepentingan politis. Di samping de fakto, secara yuridis, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 menjamin hal memeluk agama (meski tumpul dalam tataran praksis). Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi dasar pemahaman manusia ber-Tuhan dalam keberagaman kepercayaan. Suatu pengakuan adanya Tuhan. Di sini Tuhan sebagai dasar penalaran moral. Maka harus mengiyakan pandangan Drijarkara bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Religi. Sebaliknya menjadi dukungan pengakuan bagi religi yang dipahami tak terpisah dari Tuhan. Dasar yang diletakan di Sila I, bukan dasar yang monis eksklusivistis melainkan plural inklusivistis. Artinya Pancasila menjamin keberadaan masing-masing agama sebagai agama pendatang di luar kepercayaa-kepercayaan primitif.
C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Tentang tema-tema tersebut dapat di baca dari halaman 34-109.
Mitis mengarah pada sifat dari mitos yang berarti cerita yang memberikan perdoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang yang dapat dturunkan melalui metode cerita atau pementasan tari atau wayang.
Ibid, hlm. 36
Ibid
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 661
Van Peursen, ibid
Ibid
Ibid
Ibid
Gavin D’Costa Peny., Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hlm. 167.
Dalam pemahaman Drijarkara, Drijakara memahaminya sebagai potensi ke Religi. Bahkan Pancasila merupakan dukungan bagi Religi. Di celah itulah saya kemudian memahaminya sebagai suatu pengakuan adanya Tuhan.
Noh, Boiliu, Pangantar Filsafat, Diktat, Jakarta: 2008.
Bukan terkebelakang dalam IPTEK melainkan masih melestarikan dan mempertahankan keyakinan-keyakinan tradisional.

Rabu, 14 Oktober 2009

Siapakah Investor Terbesar Dalam hidup Kita??

Saat kita mendengar kata “investor” apakah yang terbesit dipikiran kita?? Uang, saham atau apa ya… Nahhh dari sini kita akan belajar sejenak mengenai makna dari Investor. Investor merupakan seseorang yang menanamkan saham di suatu perusahaan. Dapat dikatakan juga bahwa investor merupakan salah seorang yang memiliki perusahaan itu juga. Namun seberapa besar kepemilikkannya itu tergantung dari seberapa besar investasi yang ia miliki dalam perusahaan itu. Misalkan, apabila seorang investor hanya memiliki 1% saham dalam perusahaan, maka suaranya pun hanya 1% alias tidak terlalu terdengar karena suara yang ia miliki hanya minoritas. Namun, apabila ia menambah saham dari 1% menjadi 10%, lalu menjadi 50 % bahkan 70% maka semua bisa berubah. Orang yang memiliki saham terendah akan lebih tunduk padanya. Ia menjadi pemegang keputusan terbesar. Ia dapat mengendalikan perusahaan itu. Ia akan menjadi pengaruh besar bagi perusahaan itu. Semakin besar investasi yang dia berikan maka semakin besar juga keuntungan yang ia peroleh..


Demikian kita akan belajar dari cerita diatas mengenai kehidupan kita. Yaitu siapakah Investor terbesar dalam hidup kita? Ibaratkan saja kita ini seperti sebuah perusahaan, dimana ada seorang Investor ingin menginvestasikan hartanya ke dalam hidup kita. Ketika ia menginvestasikan hartanya maka seberapa besar investasinya sebesar itu juga kita dimilikinya. Kita dikuasainya. Kita dikendalikannya. Kita melakukan kehendaknya.


Namun sekali lagi yang menjadi pertanyaan, siapakah yang menjadi Investor terbesar dalam kehidupan kita? Siapakah yang menjadi pengaruh terbesar yang menjalankan, memimpin seluruh kehidupan kita??? Siapakah yang menabur, yang berinvestasi dalam kita?? Siapapun itu, pastinya ia akan mendapakan keuntungan, akan menuai sesuatu dalam kita. Inilah yang perlu kita renungkan kembali. Sebagai tolak ukur, sebagai cerminan, sebagai evaluasi untuk melihat kehidupan kita kembali.
Ketika kita melakukan kebenaran firman Tuhan maka Tuhanlah yang kan menjadi sumber, investor, pengisi, bahkan penabur didalam kehidupan kita. Dan sebaliknya, apabila kita melakukan segala sesuatu diluar kebenaran maka iblislah yang akan menjadi penabur, investor di dalam kehidupan kita.
Ingat, Ketika kita melakukan kebenaran (sebagai pelaku firman Tuhan yang setia) maka sebenarnya kita sedang membuka diri untuk membiarkan Tuhan menginvestasikan diriNya yaitu firman, kebenaran, kehidupannya di dalam kita. Dalam Imamat 18:5 dikatakan bahwa :
“Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan peraturan-Ku. Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya; Akulah TUHAN.” Ketika kita melakukan kebenarannya maka kita akan hidup olehnya.

Ingat dalam Mazmur 119:50 berkata :
“Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” Setiap janji Tuhan akan menghidupkan kita.

Dan dalam Roma 6:22 diaktakan :
“Tetapi sekarang, setelah kamu di merdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal.”

Buah yang kita terima ketika kita menerima investasi dari Tuhan ialah hidup yang kekal…. Masih banyak lagi, janji-janji firmanNya yang akan kita terima ketika kita membiarkan dan menjadikan Tuhan sebagai Investor utama dalam kehidupan kita.

Namun jika kita melakukan sebaliknya, yaitu kita tidak melakukan kebenaran atau kita tidak menghidupi firman Tuhan, maka iblislah yang akan menjadi bapamu… (Yohanes 8:44). Karena di dalam iblis ini tidak ada kebenaran maka Kematian pun dapat menjadi bagian kita karena ia adalah pembunuh manusia dari semula ( Yohnes 8 : 44, Ibrani 10 :27, Why 21 :8).


Jadi, siapakah investor terbesar dalam hidup kita??? Tuhan atau iblis??

Selasa, 13 Oktober 2009

Kasih Itu Sabar

Banyak terjemahan modern menyertakan ayat ini, "Kasih itu sabar ...." Secara teknis, hal itu benar. Sayangnya, banyak orang modern tidak memiliki pandangan yang sama tentang kesabaran seperti orang-orang zaman dulu. Kita mengartikan sabar itu seperti mengantri selama lima menit tanpa meneriaki orang lain. Namun, tidak demikian dengan makna kata sabar dalam bahasa Yunani. Sabar bukan berarti kemampuan untuk menunggu sesuatu terjadi. Kata sabar dalam bahasa Yunani adalah "makrothumia" yang secara harafiah berarti `panjang/lama` (makro), dan `menderita` (thumia). Jadi, kesabaran berarti memikul penderitaan dalam jangka waktu yang lama dan bertahan menghadapi kelakuan orang lain yang mungkin bertentangan dengan kita.

Jika kita ingin mengasihi dengan kasih Tuhan, kita harus memulainya dengan kesabaran. Ada dua bagian dalam kesabaran tersebut. Bersabar terhadap penderitaan yang disebabkan oleh orang lain dan bersabar dalam menanggung penderitaan bersama orang lain.

Banyak orang, termasuk orang Kristen, sepertinya bangga jika mereka mudah marah. Terdapat beberapa kalimat dalam masyarakat seperti, "Aku tidak mau dikritik", "Hei, seseorang mengkritikku, tapi itu semua hanyalah masa lalu", "Aku tidak marah, aku akan membalasnya". Bahkan banyak orang Kristen tertawa dan berkata, "Aku rasa aku berhasil melukainya."

Semua itu bukanlah sifat Guru kita yang dikenal sebagai Penebus dosa. Dia sabar saat dikritik, dihina, dipukul, dicambuk, disalib, bahkan di masa-masa terakhirnya pun masih berkata, "Bapa ampuni mereka." Itu adalah penderitaan yang panjang. "Tentu saja," kata Anda, "Karena Dia Yesus, Anak Allah." Jika kita adalah orang Kristen, kita seharusnya menjadi anak-anak Allah. Tapi mari kita lewatkan hal itu dulu. Mari kita lihat Stefanus yang meminta Allah mengampuni orang-orang yang melemparinya dengan batu. Lihat juga Paulus, dia dipukuli, dilempari batu, dicambuk seperti Yesus, dan dijebloskan ke penjara. Di penjara, dia menulis kata-kata yang sedang kita pelajari ini. Apakah Tuhan mengindahkan seseorang? Jika Dia mampu memberi Stefanus dan Paulus kasih yang cukup untuk memikul hinaan, siksa, dan kematian, tidak bisakah Dia membantu kita mengasihi rekan kerja yang mencoba menjelek-jelekkan kita di depan atasan?

Tapi ada makna lain di balik penderitaan panjang yang baru saja saya pelajari dari Tuhan. Kita tidak hanya bersabar terhadap derita yang diakibatkan oleh orang lain, tapi kasih juga memanggil kita untuk menderita bersama orang lain. Pikirkan keluarga Anda. Saat anak atau pasangan, saudara, ayah atau ibu Anda sedang sakit atau dalam kesulitan, apakah Anda tidak merasakan penderitaan yang mereka alami itu seolah-olah adalah penderitaan Anda sendiri? Jadi, kita harus ikut merasakan penderitaan keluarga gereja dan orang-orang yang dekat dengan kita. Seberapa sering kita mendengar rekan kerja atau teman gereja berkata seperti, "Saya ada janji bertemu dokter besok dan saya sangat khawatir." Apakah kita menanggapinya dengan berkata, "Sayang sekali. Aku akan mendoakanmu"? Apa kita benar-benar berdoa? Saat kita berdoa, apakah kita merasakan sesuatu? Apakah kita menawarkan bantuan seperti mengantar ke dokter, berbelanja, atau membawakan makanan? Kita memiliki banyak alasan untuk tidak melakukan semua itu. "Aku benar-benar tidak mempunyai waktu. Aku harus bekerja, mengurus keluarga ...." Tapi apakah kita punya waktu untuk menonton acara favorit kita di TV? Apakah kita mempunyai cukup waktu untuk komunitas, olahraga, atau hobi kita? Semuanya itu baik, tapi jika kita mempunyai waktu untuk semua itu, mengapa kita tidak mempunyai waktu bagi orang yang membutuhkan? Mengapa? Itu karena kita tidak merasakan penderitaan mereka.

Kasih itu adalah perbuatan. Perbuatan itu bisa dalam bentuk penderitaan panjang, memaafkan, dan memberikan bantuan. Jika semua itu belum dilakukan, kita harus terus berjuang mendapatkan kesabaran sejati.

Senin, 12 Oktober 2009

KERENDAHAN HATI VERSI JIM COLLINS, LAO TZU, DAN YESUS KRISTUS

Dewasa ini, pemimpin yang rendah hati termasuk dalam kategori "satwa langka" yang perlu dilindungi. Kapan terakhir kali Anda menjumpainya?

Dalam salah satu bukunya tentang kepemimpinan, John Stott menulis:

"At no point does the Christian mind come into more collision with the secular mind than in its insistence on with all the weakness it entails."

Menurut Stott, tabrakan terdahsyat perspektif alkitabiah dan sekuler terjadi pada masalah kerendahan hati.

Dunia memang sama sekali tidak memberikan apresiasi terhadap kerendahan hati karena kerendahan hati dianggap identik dengan kelemahan dan kerugian. Dunia menuntut kuasa, bukan kelemahan. Yang dunia senantiasa inginkan adalah pemimpin ala Nietzsche, yaitu "ubermensch" atau "superman". Pemimpin yang tangguh, maskulin, dan otoritatif, bahkan kalau perlu opresif.

Sedangkan pemimpin ideal ala Yesus adalah anak kecil. Anak kecil yang tidak berdaya, yang sangat tergantung kepada orang lain. Terdapat kontras yang sangat tajam antara kedua konsep di atas. Tidak ada kompromi di tengah-tengahnya, oleh karena itu, mau tidak mau, kita harus memilih.

Masalahnya, kerendahan hati bahkan hampir punah di era hiperkompetitif yang menuntut setiap pemimpin untuk senantiasa membuktikan diri superior dibanding orang lain di berbagai area. Kerendahan hati menjadi komoditi kepemimpinan yang semakin langka.

Sekarang ini, yang dibutuhkan untuk dapat bertahan dan menang dalam persaingan hidup yang keras adalah aktualisasi diri dan pembuktian diri secara konstan. Dalam proses mencapai pengakuan sosial akan dirinya, sang pemimpin yang tadinya rendah hati tanpa sadar bermetamorfosa menjadi pemimpin tinggi hati.

Jadi, observasi Stott bahwa kontras antara perspektif alkitabiah dan sekuler mencapai titik kulminasi dalam soal kerendahan hati memang benar, meski tidak sepenuhnya. Hal itu dikarenakan adanya sesuatu yang penting yang sedang terjadi di dunia bisnis sekuler.

Kerendahan Hati dalam Dunia Bisnis

Setelah sukses luar biasa dengan bukunya yang pertama, "Built to Last", peneliti manajemen Jim Collins kembali menggemparkan dunia bisnis dengan bukunya, "Good to Great". Jika sebagai pemimpin, Anda hanya memiliki waktu untuk membaca dua buku bisnis, bacalah kedua buku ini. Buku pertama berfokus pada pertanyaan: apa rahasia yang dimiliki sebelas perusahaan global dari berbagai industri untuk bertahan selama puluhan dan ratusan tahun, bahkan menjadi nomor satu di dunia? Sedangkan buku kedua didasari oleh pertanyaan: apa rahasia transformasi perusahaan yang "cukup baik" menjadi perusahaan yang "sangat hebat"? Itulah sebabnya mengapa Collins menganggap bahwa seharusnya buku kedua menjadi "prequel", bukan "sequel" dari buku pertama.

Ada beberapa hal yang menarik dari hasil penelitian Collins dan dua puluh orang asistennya selama lima tahun dengan metodologi ilmiah yang sangat solid, yang menjadi bahan dasar buku "Good to Great". Dari awal, Collins sudah berkali-kali berpesan kepada tim risetnya untuk tidak memedulikan faktor pemimpin dalam mencari kunci sukses perusahaan. Ia sadar bahwa kepemimpinan memang cenderung diromantisir, yaitu kalau perusahaan sukses, itu pasti karena pemimpinnya, demikian juga kalau gagal.

Namun, setiap kali menganalisa tumpukan data-data riset yang menggunung, mau tidak mau mereka menemukan bahwa kepemimpinan adalah faktor yang krusial dalam menentukan suksesnya perusahaan. Namun begitu, temuan berikut ini lebih menarik.

Semua perusahaan yang mereka teliti, yang telah mengalami terobosan transformatif dalam kinerja dan mampu mempertahankannya secara terus-menerus selama puluhan, bahkan ratusan tahun, ternyata memiliki pemimpin dengan dua karakteristik utama: "personal humility" dan "professional will". Kombinasi kedua karakteristik ini menjadi paradoks.

Pemimpin yang disebut Collins sebagai "Level 5 Leaders" ini adalah para pemimpin yang rendah hati, tidak pernah menyombongkan diri, bahkan cenderung pemalu. Mereka menunaikan tugas dengan diam-diam tanpa berupaya mencari perhatian dan pujian publik. Apabila mereka berhasil, mereka selalu berusaha untuk memberi kredit kepada orang lain atau hal lain di luar diri mereka. Apabila ada kegagalan, mereka bertanggung jawab secara pribadi dan tidak mencari kambing hitam. Ambisi mereka adalah untuk kelanggengan perusahaan, bukan penggemukan dan kepentingan diri.

Ketika saya membaca buku Jim Collins, mau tak mau saya tertegun dengan temuan riset tersebut. Betapa tidak, pemimpin bisnis sekuler mengadopsi kerendahan hati yang adalah ide alkitabiah (meski mereka tidak menyadari ide tersebut berasal dari Alkitab), sementara banyak pemimpin Kristen malah meninggalkannya.

Namun, hal itu tidak berarti Collins mengerti dengan tuntas apa arti kerendahan hati karena konsep Alkitab tentang kerendahan hati sangat erat terkait dengan Allah Tritunggal, yaitu kerendahan hati yang didasari oleh Allah Bapa, dicontohkan oleh Allah Anak dan dimungkinkan oleh Allah Roh Kudus.

Mengerti Kerendahan Hati

Apa arti sesungguhnya dari kerendahan hati? Kerendahan hati tidak identik dengan inferioritas atau rasa minder. Seorang pengkhotbah besar, Charles Spurgeon, mengatakan bahwa kerendahan hati adalah "to make a right estimate of oneself." Kerendahan hati adalah mengerti posisi diri kita dengan tepat di hadapan Tuhan.

Seorang yang rendah hati bukanlah seorang yang mengatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan apa pun dan tidak mampu melakukan segala sesuatu (karena itu berarti menghina Tuhan, pencipta-Nya). Seorang yang rendah hati adalah seorang yang mengatakan bahwa semua kemampuannya berasal dari Tuhan dan bahwa ia mampu melakukan sesuatu karena Tuhan yang memampukannya. Tanpa Tuhan, ia sama sekali bukan apa-apa.

Buku klasik karya Andrew Murray yang berjudul "Humility" memberi definisi rendah hati sebagai berikut. "Humility is the sense of entire nothingness, which comes when we see how truly God is all, and in which we make way for God to be all." Dengan nada yang sama. Martin Luther dengan lugas berkata, "God created the world out of nothing, and as long as we are nothing, He can make something out of us."

Kalau boleh dielaborasi lebih jauh, yang dikatakan Murray dan Luther kira-kira begini. Manusia itu pada dasarnya "nothing", lalu dalam kondisi "nothing" tersebut, manusia diubah dari "nothing" menjadi "something" oleh Tuhan yang adalah "everything". Saat manusia mulai berani mencoba sendiri untuk menjadi "something", Tuhan tidak lagi dapat bekerja melaluinya. Karena Tuhan tidak mungkin mengubahnya dari "something" menjadi "everything".

Kerendahan hati memang unik, kalau kita mengklaim bahwa kita memilikinya, kita justru tidak memilikinya. Saat kita merasa bahwa kita orang yang rendah hati, saat itulah kita kehilangan kerendahan hati kita. Inilah paradoks kerendahan hati. Kerendahan hati adalah satu-satunya karakteristik yang kita miliki tanpa kita merasa memilikinya.

Adalah relatif lebih mudah bagi kita untuk rendah hati di hadapan Tuhan (khususnya saat kita berada dalam kebaktian Minggu!). Namun, satu-satunya bukti kesungguhan kerendahan hati kita di hadapan Tuhan adalah kerendahan hati kita di hadapan sesama manusia dalam keseharian hidup kita.

Jarum dalam Jerami

Sekarang ini, pemimpin Kristen (Kristen dalam arti sesungguhnya, bukan Kristen KTP) sangat sulit ditemui. Ironis memang, banyak orang Kristen begitu berambisi menjadi pemimpin, sampai-sampai mereka lupa untuk menjadi Kristen.

Pemimpin Kristen yang rendah hati senantiasa sadar bahwa di balik segala kredibilitas dan kompetensi yang memosisikan mereka sebagai "something" di hadapan publik, mereka tetap adalah "nothing" di hadapan Tuhan. Perasaan "saya bukan apa-apa" inilah yang memungkinkan mereka berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan orang lain tanpa kesulitan.

G.K. Chesterton suatu kali berkata, "It is always the secure who are humble." Pemimpin yang tidak "secure" akan kesulitan menjadi pemimpin yang rendah hati. Namun, pemimpin yang "secure" tidak akan tersinggung dan marah bila ditegur. Mereka membuka diri untuk dikoreksi. Mereka bersedia untuk "learn", "unlearn", dan "relearn" tanpa harus merasa malu.

Dunia bisnis di Barat pada abad ke-21, melalui Jim Collins, mengakui dan menghargai kerendahan hati sebagai salah satu karakter pemimpin yang sejati. Dan berabad-abad sebelumnya, dunia Timur melalui filsuf Cina kuno, Lao Tzu, telah menjunjung tinggi pentingnya kerendahan hati sebagai syarat menjadi seorang pemimpin.

I have three precious things which I hold fast and prize. The first is gentleness; the second frugality; the third is humility, which keeps me from putting myself before others. Be gentle and you can be bold; be frugal and you can be liberal; avoid putting yourself before others and you can become a leader among men. (Ada tiga hal berharga yang saya pegang teguh. Kelembutan, kecermatan, dan kerendahan hati yang menjaga saya untuk tidak menempatkan diri di atas orang lain. Bersikaplah lembut dan Anda akan menjadi seorang yang hebat, jadilah cermat sehingga Anda menjadi orang yang liberal, jangan merasa diri paling hebat dan Anda akan dapat menjadi pemimpin.)

Sungguh ironis bila pemimpin Kristen kontemporer justru mencampakkan sikap rendah hati yang diajarkan Alkitab. Sungguh tragis bila Kristus yang menyebut diri-Nya sebagai "lemah lembut dan rendah hati" tidak lagi menjadi teladan ideal.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku : Kepemimpinan Kristen
Judul bab : Kerendahan Hati Versi Jim Collins, Lao Tzu, dan
Yesus Kristus
Penulis : Sendjaya
Penerbit : Kairos, Yogyakarta 2004
Halaman : 79 -- 84

Kamis, 08 Oktober 2009

Sejarah HKBP

7 Oktober 1861: Pelayanan Rheinische Mission dari Jerman dimulai di Tanah Batak dan merupakan hari lahirnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), ditandai dengan berundingnya empat orang Missionaris, Pdt. Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt membicarakan pembagian wilayah pelayanan di Tapanuli.

Rabu, 07 Oktober 2009

Asal Usul Nama Indonesia

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna Politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

sumber UGM

Jumat, 02 Oktober 2009

Don't Wait For...

Don't wait for time. Make it.
Don't wait for love. Feel it.
Don't wait for money. Earn it.
Don't wait for the path. Find it.
Don't wait for opportunity. Create it.
Don't go for less. Get the best.
Don't compare. Be unique.
Don't fight your misfortune. Transform it.
Don't avoid failure. Use it.
Don't dwell on mistake. Learn from it.
Don't back down. Go around.
Don't close your eyes. Open your mind.
Don't run for life. Embrace it.

Kamis, 01 Oktober 2009

Gempa Bumi

Gempa bumi adalah kekuatan alam di bumi yang paling menghancurkan. Jumlah kematian terbesar terjadi saat gempa bumi. Penelitian mengungkapkan bahwa setiap dua menit suatu tempat di permukaan bumi mengalami keretakan. Berdasarkan statistik, bumi bergoncang jutaan kali dalam setahun. Rata-rata, dari jumlah jutaan itu, intensitas 300 ribu gempa tergolong gempa minor; getarannya tak terasa dan tak menyebabkan kerusakan sama sekali. Sedangkan, dua puluh gempa lainnya merupakan gempa yang sangat kuat yang menggoncangkan bumi. Namun, karena kerap kali tidak terjadi di wilayah padat penduduk, gempa bumi jenis ini tidak memakan banyak korban jiwa dan hanya menyebabkan sedikit kerugian ekonomis. Dari gempa-gempa ini, hanya lima yang menghancurkan gedung-gedung menjadi tumpukan puing-puing.

Informasi ini memperlihatkan bahwa manusia tidak sering menghadapi gempa bumi. Jelas, ini merupakan perlindungan khusus dari Tuhan bagi manusia terhadap bencana alam.

Di zaman kita, hanya sebuah kota atau suatu daerah yang menjadi korban gempa bumi hebat. Namun, dengan kehendak Tuhan, sebuah gempa bumi yang merusak seluruh bumi ini bisa terjadi kapan saja. Goncangan dahsyat seperti ini mampu mengakhiri kehidupan di muka bumi. Struktur bumi sangat rentan terhadap gempa; gerakan atau retakan yang tiba-tiba terjadi di kerak bumi ataupun lapisan di atasnya akan mengakibatkan malapetaka yang tak terhindarkan lagi.

Gempa bumi tidak memiliki hubungan dengan jenis tanah yang menguatkan efek gelombang seismik yang melintasinya. Gempa bumi tetap mungkin terjadi bahkan saat tak ada kondisi alam penyebab gempa. Atas kehendak Tuhan, sebuah gempa bumi dapat terjadi kapan saja. Namun, Tuhan menciptakan dengan khusus ketidak-kokohan dan ketidak-stabilan di beberapa bagian muka bumi. Ini untuk mengingatkan manusia bahwa, kapan pun juga, peristiwa yang tak diharapkan dapat membuat hidup mereka dalam bahaya. Seperti yang terjadi di Padang Pariaman (7,6 SR)30 September dan Jambi (7 SR) 01 Oktober 2009 yang menelan banyak korban.

Gempa bumi yang menggoncangkan bumi hanya dalam beberapa detik ini dapat terjadi berulang kali selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Ini tentu saja mudah bagi Tuhan. Bagaimanapun, dengan rahmat-Nya, Tuhan melindungi manusia dan dengan bencana ini mengingatkan manusia selamanya bahwa manusia tak memiliki kekuasaan apa pun dalam hidupnya.